Hakim menyatakan si penulis opini terbukti menghina institusi Kejaksaan. Tak ubahnya seperti iklan yang menyesatkan konsumen.
Dalam pandangan majelis, penulisan opini berbeda dengan penulisan berita biasa. Kalau dalam berita biasa, seorang wartawan harus cover both sides dan harus memenuhi kaedah jurnalistik.
Sementara dalam penulisan kolom si penulis bisa menuangkan apa saja. Sekalipun sebuah kolom opini atau artikel ditulis seorang wartawan dan pemuatannya tergantung kebijakan redaksi surat kabar, si penulis tetap tak bisa melepaskan tanggung jawab. Apalagi nama dan identitas penulis kolom tercantum dengan jelas.
Majelis hakim membandingkan dengan iklan di koran yang merugikan konsumen. Dalam kasus semacam ini, bukan media tempat pemuatan iklan itu yang dipersalahkan, melainkan pihak yang membuat iklan menyesatkan tersebut. Atas dasar pemikiran itulah antara lain yang membuat majelis sepakat memvonis Bersihar Lubis satu bulan penjara.
Bersihar dihadapkan ke meja hijau atas tuduhan menghina suatu penguasa umum, dalam hal ini Kejaksaan Agung. Ia dijerat dengan pasal 207 KUHP. Perkara yang menyeret Bersihar adalah kolomya di harian Koran Tempo edisi 17 Maret 2007. Di sana ia menulis kolom berjudul 'Kisah Interogator yang Dungu'.
Kolom itu pada dasarnya merupakan kritik penulis terhadap kebijakan Kejaksaan Agung yang melarang peredaran buku-buku sejarah. Beberapa waktu lalu, Kejaksaan memang melarang edar buku sejarah yang tak mencantumkan kata PKI dalam uraian peristiwa pemberontakan komunis 1965, yang kemudian dikenal sebagai G.30.S.
Dalam tulisannya, Bersihar merujuk pidato Yusuf Isak dalam acara Hari Sastra Indonesia di Paris pada Oktober 2004.
Dalam pidatonya, Yusuf menguraikan saat dirinya diperiksa aparat Kejaksaan terkait penerbitan buku-buku sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
Dalam pidatonya berbahasa Inggris, Yusuf menyebutkan kata-kata idiot. Dari situlah Bersihar menggunakan kata dungu.
Yusuf sendiri menjadi saksi dalam perkara ini. Dalam kesaksiannya, Yusuf membenarkan pernah diinterogasi aparat Kejaksaan, tetapi membantah telah dianiaya.
Ia juga tidak ingat apakah pernah mengucapkan kata-kata interogator dungu untuk menyebut interogator yang tidak tahu buku-bukunya Pramoedya.
Kata 'dungu' menurut majelis lebih berat artinya dari sekedar bodoh. Tidak tahu buku-buku Pramoedya bukan berarti bisa disebut dungu.
Menurut majelis, Bersihar bukan saja mengutip kata-kata Yusuf Ishak tetapi sudah menambahkan dengan kata-kata baru.
Karena itu, unsur dengan sengaja dan unsur menghina suatu penguasa umum terbukti. Majelis juga berpendapat, UU No. 40/1999 tentang Pers tidak bisa diterapkan dalam perkara ini.
Bersihar dan tim kuasa hukumnya dari LBH Pers mengecam putusan majelis. Abu Said Pelu, anggota tim pengacara, sempat interupsi sebelum hakim Suwidya mengetok palu akhir sidang. Abu Said menilai vonis majelis telah merobek-robek rasa keadilan dan kebebasan pers. Olah karena itu, mereka memastikan mengajukan banding.
Pengamat pers Abdullah Alamudi juga ikut mengecam. Sebab, putusan majelis menjadi ancaman bagi kebebasan menyampaikan pendapat. Orang yang ikut menuangkan pikiran ke dalam kolom atau artikel di media massa akan berpikir dua kali karena bisa saja terancam kriminalisasi, seperti yang dialami Bersihar.
Agenda sidang pembacaan vonis itu diwarnai aksi damai sejumlah wartawan dan pemerhati pers. Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Toriq Hadad, berharap Bersihar dibebaskan. Jangan sampai vonis majelis hakim menabrak Konstitusi.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Depok menghukum wartawan senior Bersihar Lubis satu bulan penjara dan membayar biaya perkara. Namun, Bersihar tidak perlu menjalani hukuman itu kecuali dalam waktu tiga bulan ke depan melakukan tindak pidana yang sama.
Putusan tersebut dibacakan majelis hakim dipimpin Suwidya dalam sidang yang dipadati pengunjung, Rabu (20/2) siang. Penulis opini tetap punya tanggung jawab secara pribadi atas tulisannya, papar majelis.
Dalam pandangan majelis, penulisan opini berbeda dengan penulisan berita biasa. Kalau dalam berita biasa, seorang wartawan harus cover both sides dan harus memenuhi kaedah jurnalistik. Sementara dalam penulisan kolom si penulis bisa menuangkan apa saja. Sekalipun sebuah kolom opini atau artikel ditulis seorang wartawan dan pemuatannya tergantung kebijakan redaksi surat kabar, si penulis tetap tak bisa melepaskan tanggung jawab. Apalagi nama dan identitas penulis kolom tercantum dengan jelas.
Majelis hakim membandingkan dengan iklan di koran yang merugikan konsumen. Dalam kasus semacam ini, bukan media tempat pemuatan iklan itu yang dipersalahkan, melainkan pihak yang membuat iklan menyesatkan tersebut. Atas dasar pemikiran itulah antara lain yang membuat majelis sepakat memvonis Bersihar Lubis satu bulan penjara.
Bersihar dihadapkan ke meja hijau atas tuduhan menghina suatu penguasa umum, dalam hal ini Kejaksaan Agung. Ia dijerat dengan pasal 207 KUHP. Perkara yang menyeret Bersihar adalah kolomya di harian Koran Tempo edisi 17 Maret 2007. Di sana ia menulis kolom berjudul 'Kisah Interogator yang Dungu'.
Kolom itu pada dasarnya merupakan kritik penulis terhadap kebijakan Kejaksaan Agung yang melarang peredaran buku-buku sejarah. Beberapa waktu lalu, Kejaksaan memang melarang edar buku sejarah yang tak mencantumkan kata PKI dalam uraian peristiwa pemberontakan komunis 1965, yang kemudian dikenal sebagai G.30.S.
Dalam tulisannya, Bersihar merujuk pidato Yusuf Isak dalam acara Hari Sastra Indonesia di Paris pada Oktober 2004. Dalam pidatonya, Yusuf menguraikan saat dirinya diperiksa aparat Kejaksaan terkait penerbitan buku-buku sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Dalam pidatonya berbahasa Inggris, Yusuf menyebutkan kata-kata idiot.
Dari situlah Bersihar menggunakan kata dungu. Yusuf sendiri menjadi saksi dalam perkara ini. Dalam kesaksiannya, Yusuf membenarkan pernah diinterogasi aparat Kejaksaan, tetapi membantah telah dianiaya. Ia juga tidak ingat apakah pernah mengucapkan kata-kata interogator dungu untuk menyebut interogator yang tidak tahu buku-bukunya Pramoedya.
Kata 'dungu' menurut majelis lebih berat artinya dari sekedar bodoh. Tidak tahu buku-buku Pramoedya bukan berarti bisa disebut dungu. Menurut majelis, Bersihar bukan saja mengutip kata-kata Yusuf Ishak tetapi sudah menambahkan dengan kata-kata baru. Karena itu, unsur dengan sengaja dan unsur menghina suatu penguasa umum terbukti. Majelis juga berpendapat, UU No. 40/1999 tentang Pers tidak bisa diterapkan dalam perkara ini.
Bersihar dan tim kuasa hukumnya dari LBH Pers mengecam putusan majelis. Abu Said Pelu, anggota tim pengacara, sempat interupsi sebelum hakim Suwidya mengetok palu akhir sidang. Abu Said menilai vonis majelis telah merobek-robek rasa keadilan dan kebebasan pers. Olah karena itu, mereka memastikan mengajukan banding.
Pengamat pers Abdullah Alamudi juga ikut mengecam. Sebab, putusan majelis menjadi ancaman bagi kebebasan menyampaikan pendapat. Orang yang ikut menuangkan pikiran ke dalam kolom atau artikel di media massa akan berpikir dua kali karena bisa saja terancam kriminalisasi, seperti yang dialami Bersihar.
Agenda sidang pembacaan vonis itu diwarnai aksi damai sejumlah wartawan dan pemerhati pers. Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Toriq Hadad, berharap Bersihar dibebaskan. Jangan sampai vonis majelis hakim menabrak Konstitusi.(*/Hukum online.com).