Hak Kedaulatan Agraria Dalam Arah Geografi Ekonomi Baru.Oleh : Dede Farhan Aulawi
(Pemerhati Agraria).
Saat bumi ini dihuni oleh lebih dari 1 orang, maka permasalahan antar manusia pasti selalu ada.
Bukan sekedar masalah biasa, tetapi sebagian tidak bisa diselesaikan di luar pengadilan ataupun ditengahi oleh mediator dalam pertemuan – pertemuan mediasi. Akhirnya tentu sebagian akan berujung di meja pengadilan.
Dari sekian banyak permasalahan hukum di Indonesia, salah satu permasalahan yang menonjol terkait dengan masalah – masalah agraria atau pertanahan.
Terlebih saat semua negara mengalami kompetisi global dalam sebuah turnamen politik, sehingga batas dan aturan kompetisinya menjadi bias.
Sebuah adagium agraria berbunyi , “ Siapa menguasai tanah, ia menguasai pangan, atau ia menguasai sarana-sarana kehidupan. Siapa menguasai sarana kehidupan, ia menguasai manusia “.
Perspektif adagium ini jika digali lebih dalam, muatanya tidak lepas dari pertarungan politik dan kekuasaan, sehingga perebutan dan penguasaan tanah menjadi salah satu alat untuk saling menguasai satu sama lainnya.
Dalam iklim kompetisi tidak sehat yang tidak berlandaskan pada moral dan kemanusiaan, maka sisi dari sifat keserakahan kadangkala bisa menguasai nafsu seseorang ataupun sekelompok orang.
Jika nafsu yang berbicara, maka cenderung akan menghalalkan segala cara agar mampu menguasai tanah yang menjadi keinginannya sebagai langkah awal untuk menguasai manusia.
Padahal jika berbicara pemanfaatan lahan, leading sector utamanya adalah para petani sebagai penopang utama kebutuhan pangan umat manusia.
Jasa petani sangat besar sekali dalam memenuhi hajat hidup orang banyak. Jadi sangat wajar jika idealnya para petani itu sejahtera lahir dan batinnya.
Tapi apa mau dikata, mayoritas tanah tidak dimiliki oleh mereka yang selama ini dianggap petani. Mereka sesungguhnya hanyalah para “Buruh Tani” yang sekedar mendapatkan upah kerja dari kucuran keringat yang membasahi baju dan mengotori badannya.
Permasalahannya siapa yang benar – benar memikirkan nasib para buruh tani tersebut ? siapa yang memiliki keinginan kuat untuk meningkatkan harkat, martabat dan derajat kesejahteraan mereka ?
Mungkinkah gagasan dari " Geografi Ekonomi Baru" –nya Krugman mampu menggabungkan orientasi ekonomi yang berbasiskan pada kesejahteraan para petani ? Kapan petani bisa menjadi subjek kesejahteraan, ataukan selamanya akan menjadi objek perjuangan.
Perjuangan kesejahteraan para petani sesungguhnya harus menginspirasi lahirnya gagasan Kedaulatan Agraria yang berpihak pada masyarakat bawah.
Para pengusaha besar seharusnya menjadi akselerator dalam pencapaian kesejahteraan petani, dan bukan lagi hanya sekedar memanfaatkan tenaga petani dengan upah alakadarnya.
Keterhubungan dalam pencapaian indikator – indikator makro ekonomi seharusnya tersusun atas pencapaian puzzle – puzzle mikro ekonomi.
Barangkali ini yang seharusnya menjadi mantra suci yang harus dilafalkan oleh para calon pemimpin di negeri ini agar kesejahteraan petani jangan lagi menjadi variabel komplementer.
Bila kita merujuk pada penjabaran Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (1948), maka pada tahun 1996 telah dikukuhkan suatu perjanjian internasional mengenai “Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya” (HESB).
Pasal 11 ayat 2 dari HESB ini mengisyaratkan bahwa suatu negara yang mengabaikan masalah Reforma Agraria, dianggap telah melakukan pelanggaran HAM (G. Wiradi, 2001).
Oleh karena itu, jika ingin memahami permasalahan agraria, ada baiknya dimulai dengan mempelajari perjalanan sejarah perombakan sistem agraria Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan pra-UUPA.
Lalu bagaimana perjalanan sejarah terbentuknya Hukum Agraria Nasional dari 1948 hingga diundangkannya UU No. 5/1960 (UUPA).
Sejarah perundangan inilah sejatinya menjadi pengantar untuk memahami peta permasalahan agraria, mulai dari ketimpangan struktur agraria, konflik agraria struktural, kerusakan ekologis, laju cepat alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian, dan kemiskinan akibat struktur agraria yang yang dianggap menindas.
Beberapa permasalahan di atas, terutama yang terkait dengan masalah ketimpangan dan ketidakadilan struktur agraria (kepemilikan, penguasaan, distribusi, dan akses) atas sumber-sumber agraria nasional menjadi jalan panjang yang tidak tahu kapan sampai di perhentian.
Artinya azas keadilan dan kesejahteraan bisa ikut dicicipi oleh para buruh tani ataupun para nelayan serta berbagai profesi lainnya yang selama ini termarginalkan.
Jadi, pembangunan infrastruktur untuk melayani kebutuhan sumber ekonomi perkebunan, pertambangan, kehutanan, perikanan, kelautan, dan pertanian benar – benar dirasakan juga manfaatkan oleh masyarakat bawah, bukan hanya dirasakan oleh industri serta korporasi besar dan transnasional.
Jika melihat sejarah penemuan benua Amerika, barangkali Christoper Columbus akan menangis karena hasil dari penemuannya ternyata hanya melahirkan hasrat akan penguasaan sumber-sumber kehidupan dan sumberdaya alam penduduk setempat (asli).
Penduduk asli benua Amerika akhirnya harus diperangi, tersingkir dan kehilangan akan hak atas tanah moyang (ulayat) dan sumber kehidupan lainnya.
Ekspansi fisik dan kekuatan bersenjata merupakan metode efektif dalam menguasai hak orang lain, lalu dibuatlah legalisasi kepemilikan atas hak orang lain itu dengan menggunakan pendekatan hukum agar dianggap sah secara hukum.
Tidak ada salahnya jika kita bercermin dari sejarah Amerika, ataupun sejarah lainnya yang sejenis dimana secara nyata telah terjadi pencamplokan hak atas tanah oleh kelompok kuat terhadap kelompok lemah.
Sayangnya kita bukanlah termasuk kelompok yang rajin membukukan sejarah kelam yang menyedihkan hak – hak dasar atas kepemilikan tanah. Serpihan sejarah inilah yang sejatinya menjiwai perjuangan konstitusional atas kedaulatan agraria sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pekik kemerdekaan 1945.
Awal proklamasi kemerdekaan, para pendiri negeri ini telah menggulirkan upaya Reforma Agraria, membagikan tanah secara adil kepada rakyat yang melahirkan UU Nomor 5 tahun 1960. (UU Pokok Agraria-UUPA), dimana UU ini banyak diakui sebagai UU yang benar-benar Pro-rakyat.
Namun keberpihakan dan kekuatan UUPA ini semakin melemah seiring dengan lahirnya UU Penanaman modal, UU Pokok Kehutanan, dan UU pertambangan.
Sebagai contoh Bengkulu dengan luasan 1.9 juta hektar hanya 15 % saja yang menjadi wilayah kelola rakyat. Selebihnya dikuasai oleh kuasa pertambangan dan HGU perkebunan.
Padahal 80 % penduduk propinsi ini adalah petani, artinya kebutuhan dasar mereka adalah tanah. Ilustrasi seperti ini mungkin terjadi juga di beberapa propinsi lainnya.
Oleh karena itu, dasar lahirnya sebuah aturan perundangan sebaiknya dijiwai oleh semangat untuk meningkatkan kesejahteraan bersama, utamanya kaum – kaum yang selama ini termarginalkan. Jadi jangan lupakan perjuangan kedaulatan agraria bagi masyarakat bawah.