Foto, Pembina GNPK RI, saat menyampaikan perlunya ada pencegahan dan merupakan upaya pemberantasan korupsi.
SpiritNews. com.- Dede Farham Aulawi menyampaikan bahwa berbicara masalah korupsi merupakan pembicaraan yang tidak pernah selesai. Sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa soal korupsi selalu ada di setiap zaman dan di setiap tempat.
Hal yang berbeda umumnya menyangkut modus saja dimana hampir selalu menyiasati aturan hukum yang berlaku di zamannya masing-masing.
Semakin ketat aturan maka semakin cantik pula permainannya. Bahkan mereka yang tertangkap umumnya dinilai sedang sial saja, atau dianggap mainnya tidak cantik.
Untuk mendalami hal ini, media mewawancarai Pembina Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi Republik Indonesia (GNPK RI) Dede Farhan Aulawi di Bandung, Sabtu (7/3).
Menurut Dede, program pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya sudah lama, yaitu pada tahun 1957 melalui Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Meskipun regulasi dan nomenklatur badannya berbeda, tapi makna, hakikat dan tujuan keberadaannya sama.
Sampai terbentuk dan berjalannya KPK di era reformasi ini, perilaku koruptif masih tetap ada. Harapan indahnya negara yang bebas dari korupsi tampaknya masih belum bisa diwujudkan.
Meskipun demikian, semangat pemberantasannya harus tetap dikobarkan.
Strategi pendekatan yang bisa dilakukan secara paralel adalah (1) perubahan mindset dengan melibatkan sebanyak mungkin tokoh masyarakat dengan segala instrumennya sebagai bagian upaya pencegahan yang berkelanjutan, (2) evaluasi dan perbaikan sistem yang mengedepankan pencegahan, dan (3) penindakan hukum yang memiliki efek jera, efek malu dan efek takut.
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menjelaskan bahwa Pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian Dede juga menambahkan rujukan dari Robert Klitgaard yang menjelaskan bahwa korupsi terjadi karena adanya monopoli dan diskresi tanpa adanya akuntabilitas. [C = M + D – A]. Dengan demikian, untuk mengurangi korupsi maka monopoli harus dikurangi, diskresi pejabat dibatasi dan akuntabilitas ditingkatkan. Ini artinya dalam jangka panjang, melawan korupsi memerlukan perbaikan sistem.
Termasuk didalamnya terus merangsang partisipasi publik untuk ikut serta dalam membantu pengawasan guna meminimalisir praktek korupsi di berbagai bidang.
Kerjasama dengan berbagai komponen masyarakat, termasuk ormas atau LSM pegiat antikorupsi harus terus dijalin sebagai bentuk komitmen kolektif dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari praktek KKN.
" Itulah sebabnya GNPK RI lahir menjadi salah satu organisasi pegiat antikorupsi ternama di tanah air.
Fokus utama sesuai namanya, yaitu di bidang "PENCEGAHAN" sebagai bagian terpenting dari upaya pemberantasan korupsi ", pungkas Dede mengakhiri perbincangan. (*/Df).