Foto, Dede Farhan Aulawi, saat mejelaskan penyalahgunaan teknologi
internet menjadi kejahatan siber, di Jakarta, Senin (9/3).
Jakarta, SpiritNews. com.- Salah satu persoalan yang akhir – akhir sering terjadi di tanah air adalah masalah kejahatan siber, namun demikian mungkin masih sedikit masyarakat yang memahami apa itu kejahatan siber, karena lingkup tindak pidana masalah ini memang tidak kasat mata.
Tentu akan sangat berbeda dengan kejahatan konvensional, seperti pencurian, perampokan, pengeroyokan, dan sebagainya, di lain sisi berbagai mass media seringkali menayangkan kosa kata “kejahatan siber” di headline-nya.
Hal ini tentu akan menimbulkan bias interpretasi jika tanpa adanya upaya untuk lebih banyak memberikan “pencerahan” pada masyarakat umum terkait pengertian ataupun ruang lingkupnya yang dikemas dalam bahasa yang mudah dicerna oleh publik.
Untuk mengetahui lebih jauh masalah tersebut, media mewawancarai Pemerhati Kejahatan Siber (Cyber Crime) Dede Farhan Aulawi di Jakarta, Senin (9/3).
Menurut Dede, tindak pidana siber adalah semua tindak pidana yang menggunakan sarana atau dengan bantuan Sistem Elektronik.
Itu artinya semua tindak pidana konvensional dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sepanjang dengan menggunakan bantuan atau sarana Sistem Elektronik dapat termasuk dalam kategori tindak pidana siber dalam arti luas.
Akan tetapi dalam pengertian yang lebih sempit, pengaturan tindak pidana siber diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“ Sederhananya, konsep kejahatan siber ini awalnya adalah segala bentuk tindak kejahatan yang menggunakan perangkat/ tehnologi komputer untuk kegiatan seperti peretasan, pengrusakan, virus komputer, intrusi komputer, dan penipuan identitas “, ujar Dede.
Selanjutnya Dede juga menambahkan terkait konvensi internasional yang dikenal dengan “The Budapest Convention on Cybercrime” tahun 2001 yang memiliki lingkup kejahatan yang terbatas. Dalam konvensi tersebut, jenis kejahatan yang diklasifikasikan sebagai kejahatan dunia maya terbatas pada empat kelompok pelanggaran, yaitu :
(1) Pelanggaran terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem komputer dengan cakupan pelanggaran adalah akses ilegal, intersepsi ilegal, gangguan data, gangguan sistem, dan penyalahgunaan perangkat,
(2) Pelanggaran terkait komputer dengan dua lingkup pelanggaran pemalsuan terkait komputer dan penipuan terkait komputer,
(3) Pelanggaran hak cipta dan hak terkait dengan ruang lingkupnya,
(4) Pelanggaran terkait konten yang hanya terbatas pada pelanggaran yang terkait dengan pornografi anak.
Sementara itu Singapura dan Malaysia memiliki ketentuan yang berbeda dengan Indonesia dalam menerapkan hukum yang terkait dengan kejahatan siber ini, sebab publikasi dan distribusi konten ilegal menggunakan internet, komputer dan teknologi tidak dianggap sebagai bagian dari kejahatan siber.
Contohnya kalau di Singapura dalam Computer Misuse Act (UU Penyalahgunaan Komputer), kejahatan siber itu mencakup seperti akses tanpa izin, pengungkapan rahasia, perusakan atau kerusakan sistem komputer atau data elektronik, dan penipuan komputer.
Hal ini sama dengan Malaysia dalam Computer Crime Act (UU Kejahatan Komputer), dimana ketentuan khusus terhadap kebebasan berekspresi seperti pencemaran nama baik dan kebencian yang dilakukan melalui siber tidak dikategorikan kejahatan siber, karena pelanggaran semacam itu sudah tercakup dalam KUHP-nya.
Adapun delik kejahatan internet yang diatur dalam UU ITE di Indonesia, antara lain tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas ilegal, seperti distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten ilegal, yang terdiri dari kesusilaan (Pasal 27 ayat [1] UU ITE), perjudian (Pasal 27 ayat [2] UU ITE), penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat [3] UU ITE), pemerasan atau pengancaman (Pasal 27 ayat [4] UU ITE), berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat [1] UU ITE), menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat [2] UU ITE), mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29 UU ITE).
Di samping itu ada juga hal – hal yang terkait dengan kegiatan akses ilegal (Pasal 30 UU ITE), dan intersepsi ilegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan Sistem Elektronik (Pasal 31 UU ITE).
Kumudian ada juga tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), seperti Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference – Pasal 32 UU ITE), Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference – Pasal 33 UU ITE), Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE), Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (Pasal 35 UU ITE), Tindak pidana tambahan (accessoir Pasal 36 UU ITE) dan Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).
“ Sementara itu jika mau bicara hal pencegahan, maka yang terpenting adalah upaya – upaya untuk mengedukasi masyarakat secara terus menerus, dalam rangka mencerdaskan dan membudayakan tertib hukum sebagai masyarakat yang maju.
Sebagaimana kita tahu bahwa sarana prasarana internet saat ini mudah diakses oleh siapapun termasuk anak - anak atau remaja yang relatif belum memiliki kematangan psikologis.
Oleh karena itu upaya pencegahan jauh lebih penting daripada mengedepankan penindakan. Mari kita duduk seluruh masyarakat kita, handai taulan kita dan keluarga kita agar bisa bijak dalam menggunakan segala perangkat elektronik agar tidak berperkara dengan hukum “, himbau Dede dengan penuh harap. (*/Df).