Foto, Dede Farham Aulawi, saat di sebuah café yang berada di Jakarta Selatan, Senin (24/2).
Jakarta Selatan, SpiritNews. com.- Bahasa sebagai instrumen dalam melakukan interaksi sosial antar manusia, ternyata pemanfaatannya dari sisi pengetahuan sangat luas sekali.
Akhirnya dalam berbagai aktivitas empirik, munculah berbagai istilah yang semakin menarik untuk dikaji dan diuji. Dalam perkembangannya tidak sekedar sebagai alat, tetapi juga bisa dijadikan sebagai bukti hukum dalam suatu sidang peradilan, sehingga lahir apa yang dimaksud dengan forensik linguistik.
Pemerhati Bahasa Dede Farhan Aulawi saat diajak berdiskusi malam hari di sebuah café yang berada di Jakarta Selatan, Senin (24/2) memberikan gambaran tentang penerapan bahasa sebagai sebuah ilmu manfaatnya sangat besar sekali.
Dia pun menjelaskan bahwa ilmu forensik linguistik yang merupakan cabang dari linguistik untuk menganalisis dan meneliti tentang kebahasaan yang digunakan sebagai alat bantu pembuktian di peradilan.
Dalam penerapannya banyak diperlukan dalam penganalisisan bukti berupa bahasa demi kepentingan investigasi dalam kasus perdata maupun pidana.
Disiplin ilmu tersebut akhirnya semakin berkembang sehingga para lawyer-pun sudah mengakui keberadaan para ahli linguistik forensik dalam memberikan pembuktian di persidangan.
Dimana ruang lingkupnya meliputi fonetik akustik, analisis wacana, dan semantik, serta yang berkaitan dengan pragmatik dan psikolinguistik.
Selanjutnya Dede juga mengatakan bahwa dalam peradilan suatu kasus hukum, linguistik forensik dilakukan oleh Saksi Ahli Bahasa, dan hukum Indonesia pun sudah menyatakan bahwa keterangan saksi ahli adalah alat bukti yang sah.
Dengan demikian manfaat dari ilmu ini adalah (1) dapat mengidentifikasi penutur berdasarkan dialek, gaya bicara, atau aksennya, sampai menganalisis tulisan tangan tersangka untuk mendapatkan profilnya, dan (2) dapat menganalisis isi dan makna tuturan dalam konteks kebahasaan yang dapat digunakan sebagai bukti peradilan.
“ Begitupun di bidang kepariwisataan ada istilah linguistik pariwisata (Tourism Linguistic) yaitu ilmu linguistik yang digunakan dalam mengemas tata bahasa kepariwisataan, termasuk dalam hal promosi objek wisata untuk memikat para pembaca sehingga berkeinginan untuk mendatangi objek wisata yang dipromosikan tersebut “, ujar Dede.
Sebagaimana dijelaskan oleh Dede, diapun menguraikan secara rinci menyangkut struktur dan tata bahasa agar mudah dipahami oleh wisatawan.
Begitupun dengan penggunaan gaya bahasa dan pilihan kata yang tepat akan berperan dalam menentukan keberhasilan promosi pariwisata.
Gaya bahasa dan pilihan kata yang baik dapat memberikan gambaran yang jelas dan menarik sehingga mampu memikat pembacanya untuk mengunjungi objek wisata tersebut. Termasuk penggunaan gambar, tanda atau lambang dalam promosi pariwisata sangat menentukan keberhasilan promosinya.
Objek wisata yang bagus, apabila dalam promosi pariwisatanya ditampilkan dengan gambar yang tidak jelas akan memberikan kesan negatif sehingga tidak menarik perhatian wisatawan. Paparnya.
Kemudian Dede juga sedikit menguraikan pendekatan teori McMannis yang menjelaskan tentang teori pembentukan kata, seperti derivasi (derivation), singkatan (acronym), backformation, paduan kata (blending), pemotongan kata (clipping), coinage, Functional shift, Morphological Misanalysis, dan Proper Names.
Contoh paduan kata (blending) dalam wisata kuliner di Jawa Barat, seperti Cireng (aci yang digoreng), gehu ( goreng tahu yang di dalamnya ada toge), cilok ( aci yang dicolok) dan yang lainnya.
“ Di samping itu, dikenal pula istilah metafora, personifikasi dan simile. Metafora merupakan gaya bahasa (figure of speech) berupa kata atau frasa yang biasanya digunakan untuk memberi efek tertentu, dan dipakai tidak dalam arti yang sebenarnya, melainkan hanya sebagai kiasan.
Di lihat dalam rangkaian kalimat boleh jadi terkesan hiperbolistik, namun dalam pendekatan bahasa pariwisata sebagai bagian strategi bisnis yang lazim.
Untuk itulah pakar kepariwisataan tidak cukup hanya dengan pengetahuan dan hobi saja, karena ia pun harus cerdas dalam mengelola tata bahasa, atau biasa disebut dengan kecerdasan linguistik “, ungkap Dede yang selalu bersemangat saat berkomunikasi dengan media, mungkin ini pula yang mengantarkan dirinya didaulat sebagai Dewan Penasihat Forum Pimpinan Redaksi Nasional (FPRN). (*/Df).