Oleh: Dede Farhan Aulawi
Istilah psikologi mungkin tidak asing lagi bagi sebagian besar orang Indonesia, secara sederhana kalau ditanya tentang psikologi, kebanyakan menjawab sebagai ilmu yang mempelajari kejiwaan atau kondisi psikis seseorang.
Meskipun tentu sebenarnya tidak bisa diartikan sesederhana itu. Kemudian ketika berbicara psikologi kriminal, maka isa diterjemahkan sebagai penerapan ilmu psikologi dalam bidang kriminalitas atau kejahatan.
Atau bisa juga diterjemahkan sebagai ilmu pengetahuan tentang jiwa individu atau kelompok yang berkaitan dengan perbuatan jahat / kriminal.
Beberapa penelitian psikologi kriminal menunjukkan bahwa orang jahat tidak dapat disembuhkan hanya dengan kekerasan atau siksaan, tetapi harus dengan terapi mental.
Prinsip-prinsip kesehatan mental dapat membuat penjahat menjadi sadar dan jera.
Sebuah renungan metode dan sistem yang bisa diterapkan guna memperoleh tujuan “efek jera”, kata Komisioner Kompolnas Dede Farhan Aulawi yang dihubungi, Sabtu (29/2) di Bandung.
Penerapan ilmu psikologi kriminal dalam sebuah penyidikan kasus kejahatan setidaknya ada dalam empat tahap. Pertama saat Pemeriksaan Psikologi, yaitu proses psikodiagnostika yang diberikan kepada seseorang yang menjadi saksi, tersangka, ataupun korban (bila memungkinkan) dalam tindak pidana tertentu.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperoleh informasi psikologis (potensi, kepribadian, profile psikologi, dan lain sebagainya) tentang seseorang yang berkaitan dengan peristiwa pidana tertentu untuk diinformasikan kepada penyidik dalam mengambil langkah-langkah tertentu guna mendukung proses penyidikan.
Tahap ini juga bertujuan untuk mengetahui dinamika psikologi seseorang, seperti motif, kebohongan, indikasi psikopathologis, dan lain sebagainya.
Kedua adalah Profiling Psikologi yang merupakan serangkaian kegiatan profesi psikolog untuk mengidentifikasi ciri-ciri yang bersifat khusus tentang seseorang atau lebih yang diduga menjadi pelaku tindak kejahatan berdasarkan fakta-fakta di lapangan (TP TKP= Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara).
Artinya profesi psikologi harus mampu menyelenggarakan psikodiagnostik terhadap seseorang tanpa harus bertemu dengan seseorang namun hanya berdasarkan pada jejak-jejak yang ditinggalkan (perilaku adalah ekspresi jiwa seseorang, dan TKP merupakan hasil perilaku seseorang).
Ketiga adalah Autopsi Psikologi, dilakukan dengan membuat gambaran tentang kepribadian seseorang (yang sudah mati) berdasarkan allo-anamnese dan berbagai keterangan lainnya dari lingkungan untuk membuat profile perilaku tertentu dan didatakan untuk kepentingan lainnya.
Terakhir yang keempat adalah Analisa Psikologi, yang berfokus pada kegiatan berupa tulisan yang berisi analisa psikologi tentang trend kejahatan atau kriminalitas tertentu dan kemudian membuat saran-saran dan prediksi tertentu (kasuistik, actual, dan berjangka waktu).
Contoh gampangnya membuat trend kejahatan di akhir tahun, tren bunuh diri pada pelajar, dan lain sebagainya.