Foto, Dede Farhan Aulawi, saat memberikan penjelasan jabatan merupakan persimpangan kehormatan, kehinaan dan jalan kemuliaan.
Jakarta, SpiritNews. com.- “ Setiap manusia pada dasarnya pasti punya keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
Kehidupan yang lebih baik itu, pada umumnya diterjemahkan dalam bentuk harta, jabatan dan / atau kehormatan.
Tentu tidak semua orang seperti itu, karena memang masih ada sebagian orang yang masih memiliki pandangan lurus sehingga tidak silau dengan kemilau dunia. Namun sebagian lagi ada yang berpandangan seperti anak tangga untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, agar memiliki penghasilan, kesempatan dan kekuasaan yang lebih tinggi pula hingga akhirnya menjadi kaya raya, agar setiap orang menaruh hormat pada dirinya. Seolah – olah kemuliaan disederhanakan dengan kekayaan.
Padahal tidak sedikit orang yang dinilai “terhormat” dan kaya raya selama ini, pada akhirnya terhenti di ruang sempit dan hening penuh kehinaan di balik jeruji besi. Mungkin sebagian orang memiliki jalan cerita yang berbeda, karena terjebak situasi keadaan yang tidak bisa dihindari. Tapi ada juga karena keserakahan ingin dianggap sukses dan lebih terpandang dengan cara yang salah, hingga mengkhianati keyakinan “, kata Dede Farhan Aulawi saat memberikan kata sambutan pada pembekalan aktivis pegiat anti korupsi di Jakarta, Minggu (23/2).
Selanjutnya Dede juga mengatakan bahwa pantas saja ada suatu riwayat dimana saat Ali bin Abi Thalib sedang duduk bersama Rasulullah SAW, lalu ada seorang Badui yang bertanya, “Wahai Rasul, apakah ajaran Islam yang paling ringan dan apa pula ajaran Islam yang paling berat ?”
Rasulullah menjawab, “ Yang paling ringan adalah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Sedangkan yang paling berat adalah memelihara amanah. Orang yang menyia-nyiakan amanah dipandang tidak beragama.
Sembahyang dan zakatnya tidak mendapatkan pahala,” (HR Al-Bazzar dari ‘Ali bin Abi Thalib).
“ Jadi “jabatan” yang dimiliki oleh seseorang sesungguhnya adalah suatu amanah yang berat sekali.
Jika ia mampu menunaikan amanahnya dengan baik, maka amanah tersebut akan menjadi jalan kemuliaan. Sebaliknya jika amanah tersebut diselewengkan, maka ia akan menjadi jalan kehinaan bagi dirinya “, ujar Dede.
Jabatan selama ini seringkali diterjemahkan sebagai cara untuk memperoleh kehormatan dan pujian. Semakin banyak orang yang menghormatinya, diapun semakin tersanjung dan kadangkala lupa daratan.
Padahal tidak sedikit pujian yang datang sebatas formalitas karena sebuah kedudukan yang hanya sesaat saja. Lihat saja fenomena empirik dimana orang disanjung dan dipuja karena sedang menduduki sebuah posisi, namun saat posisinya dilepas karena telah berakhir masa jabatannya, maka orang pun sudah tidak hormat lagi.
Saat menduduki sebuah jabatan banyak orang yang datang, kadangkala berbungkus baju “silaturahmi”, padahal karena ada maksud dan tujuan untuk menitipkan diri. Berbagai makanan dan buah tangan dibawakan, termasuk juga mungkin dalam bentuk uang.
Tapi sekali lagi coba lihat saat jabatan itu telah hilang, maka tidak sedikit orang – orang yang sering berkunjung secara bertahap ikut menghilang juga.
Coba perhatikan di berbagai acara seremonial, tidak sedikit untuk bertepuk tangan saja harus diminta, seperti “ hadirin sekalian, mari kasih “applause” untuk ….”.
Ternyata hanya sekedar mendapatkan tepuk tangan saja harus mengiba dan meminta. Sudah sebegituh pelitkah bangsa ini, sehingga untuk sekedar tepuk tangan saja harus diminta….?
Itu semua bukan berarti tidak boleh memiliki keinginan untuk mendapatkan jabatan.
Silakan jabatan itu diperoleh dengan cara yang terhormat dan bermartabat. Asal jangan pernah mendapatkan jabatan dengan cara “membeli”, sebab jika itu yang dilakukan maka pasti ia akan berfikir untuk segera mengembalikan “modal” yang sudah dikeluarkan.
Kehormatan bukanlah barang dagangan yang bisa diperjualbelikan, meskipun di dunia bisa saja semua terjadi.
Tetapi bagi umat yang beragama harus diingat, bahwa perjalanan dunia ini sungguh fana dan akan ada pertanggungjawaban yang lebih berat di akhirat kelak.
Di mana saat mulut tak lagi bisa bicara, otak tak lagi bisa berfikir untuk “mengakali”, dan saat uang tak bisa lagi dipakai untuk menyogok, maka tangan dan kaki akan menjadi saksi atas apapun yang pernah diperbuat.
“ Kecerdasan intelektual yang selama ini sudah diperoleh, jagalah kesuciannya agar tetap terhormat.
Cukup sudah penjara dipenuhi oleh orang – orang yang selama ini “cerdas” dengan titel yang berjejer dan jabatan yang terhormat. Putuskan segera mata rantai kehinaan yang selama ini banyak dipertontonkan di berbagai media massa.
Mari untuk menempatkan kembali “jabatan” sebagaimana mestinya, yaitu ladang pengabdian terbaik sebagaimana diikrarkan saat sumpah jabatan dikumandangkan.
Jika ini bisa dilakukan, yakinlah hujan pahala akan mengalir deras dari kaum papa yang terangkat derajat kesejahteraannya. Air mata si fakir dan si miskin akan menjadi saksi abadi atas pengabdian yang penuh dedikasi, maka Insya Allah seluruh mahluk yang ada di bumi dan di langit akan turut menengadahkan tangan memohon pada Tuhan Yang Maha Pemurah agar melimpahkan kemuliaan pada orang – orang yang menjadikan jabatan sebagai amanah yang selalu terjaga kesuciannya “, ungkap Dede menutup harapan dengan penuh optimisme.
“ Semoga kita tergolong orang – orang yang mampu menjaga dan menjalankan amanah dengan baik, amiin.
Sebab masing – masing kita adalah pemimpin, dan setiap pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawabannya… Sungguh pertanggungjawaban di akhirat kelak itu berat ”, pungkas Dede sambil menyeka bulir air mata yang tergenang di sudut matanya. (*/Df).