Foto, Dede Farham Aulawi, Pemerhati Teknologi Hankam.
Jakarta, SpiritNews. com.- Dulu IPTN pernah menjadi olok -olokan ketika menjual CN 235 ke Thailand dengan sistem imbal beli, orang awam dan beberapa media mem-blow up dengan istilah "pesawat" ditukar "beras ketan", dan beberapa sindiran sumir lainnya.
Masih mending kalau sindiran itu dari non educated people, tetapi ketika keluar dari warga "terdidik" kayanya sangat memprihatikan.
Diungkapkan bahwa apalagi ketika negara mengalami krisis keuangan yang berakibat IPTN di lock out.
Apakah murni soal keuangan ? Atau ada target strategis yang ingin "dibunuh" setelah N250 dinyatakan sukses dalam penerbangan perdana, ternyata masih sedikit yang bisa melihat urgensinya IPTN dan industri strategis lainnya pada saat itu.
Terkait hal ini media meminta tanggapan dari Pemerhati Teknologi Hankam Dede Farhan Aulawi, pada Minggu (5/1) di ruang kerjanya.
Pada kesempatan ini Dede menyampaikan kilas balik dan bahan evaluasi terkait proposal penawaran pesawat jet tempur siluman F-35 dari Lockheed Martin, AS kepada pejabat Tel Aviv - Israel untuk menambah jumlah armadanya menjadi 100 buah.
Sementara itu disaat yang bersamaan Tel Aviv sedang mempertimbangkan apakah membeli tambahan skuadron pesawat F-35 atau skuadron F-15 IA dari Boeing. Ujar Dede.
" Jika Lockheed Martin berhasil meyakinkan Tel Aviv untuk membelinya, maka Israel akan memiliki 100 unit F-35 ", ungkap Dede.
Boeing juga tidak tinggal diam, ia menawarkan pesawat F-15 IA yang sebelumnya sudah digunakan Angkatan Udara Israel sejak 2018. Tipe ini juga memiliki kemampuan yang jauh lebih canggih dibandingkan dengan F-15 versi asli.
Perlu diketahui bahwa jet tempur F-15 IA dapat membawa hingga 13 ton bahan peledak, sebuah kemampuan yang destruktif yang luar biasa dan tidak tertandingi oleh pesawat tempur lainnya.
Jadi jika dilihat dari kemampuan daya rusak serangan, maka kemampuan F-15 IA lebih canggih. Namun dari skema pembayaran, apa yang ditawarkan oleh Lockheed Martin dinilai lebih menarik, yaitu dengan sistem pembelian timbal balik senilai USD1,75 miliar sebagai bagian dari kesepakatan yang tidak terpisahkan.
" Apa yang bisa diambil sebagai pelajaran dari peristiwa tersebut ? Pertama, kebijakan pemerintah pada saat itu melalui IPTN untuk menjual pesawat dengan sistem imbal beli ternyata saat ini banyak digunakan dalam bisnis di negara-negara lain, termasuk AS. Kedua, daya serang masa depan akan bertumpu pada penguasaan teknologi penerbangan, baik dengan awak atau tanpa awak.
Oleh karena itu, kebijakan untuk memperkuat PT. Dirgantara Indonesia (dulu IPTN), dan industri pertahanan dalam negeri lainnya perlu didukung sepenuh hati ", harap Dede menamatkan percakapan. (*/Df).