Foto, Yusrin Ahmad Tosepu
Oleh : Yusrin Ahmad Tosepu
Banyak diantara kita dengan mudah untuk mengurai masalah, Akan tetapi tak mampu menemukan akar masalah hingga mengurai solusi.
Siapa yang tidak mengerti akar masalah, maka akan sulit untuk mengerti pucuk solusinya.
Hari ini sebagian besar mahasiswa Indonesia bersama masyarakat turun kejalan untuk mengadakan demo terkait permasalahan negara hangat yang terjadi.
Bahkan beberapa meneriakkan kata "Revolusi".
Semoga semangat itu mampu diimbangi dengan real solusi yang dihadirkan.
Sehingga benar-benar mampu memberikan jawaban yang pasti, teknis dan terakomodir di masyarakat.
Namun, bagi saya pribadi, ketika melihat semua kondisi ini, diresapi dan didalami maka kita akan menemukan satu akar masalah yang merupakan pengontrol semua kekuasaan tak hanya di Indonesia, akan tetapi di dunia yakni Leader of Money yang disebut dengan "Dajjal/Iblis".
Di mana dalam manga serial "One Piece" dapat kita kenal dengan "Im Sama".
Dajjal ini kemudian membawa sistem yang mengakar di masyakat, lazim kita mengenallnya dengan sebutan "Bank".
Sistem yang membuat kita percaya dan yakin dengan apa yang sedang mereka lakukan.
Sistem yang memaksa kita untuk melalukan debt/utang baik secara pribadi atau negara sehingga tunduk pada benda yang bernama "Uang".
Sistem yang mengakibatkan propaganda perpecehan/petengkaran di berbagai belahan dunia tak terkecuali Indonesia, hanya dengan satu benda pengendali perilaku manusia yakni "Uang".
Segala macam jalan ampuh kita lakukan agar mendapat harga darinya.
Ditingkat negara, paling trend kita mengenalnya dengan"Obligasi atau Surat Utang Negara (SUN)".
Pada proses pengeluaran SUN yang dilakukan oleh negara maka tak ayal ada "Angunan" yang diberikan.
Entah bentuk apa "angunan" itu, hal ini yg seharusnya detail kita temukan.
Dan dalam konsep transaksi utang tersebut, "Nilai Angunan harus lebih besar dari Nilai Utang yang dipinjamkan.
Akibatnya lainnya, muncullah "Bunga" yang juga harus ditebus dari dikeluarkannya SUN tersebut.
Jadi ada dua kondisi di mana negara harus menanggung berat bebannya:
1.Angunan yang di berikan.
2.Bunga yang harus di bayar.
Bisa kita bayangkan betapa deritanya negara harus dipermainkan seperti itu.
Padahal alam konteks negara "Berdaulat" bak Berketuhanan", konsep "Utang pada Uang" ini tak seharusnya dijalankan.
Negara seharusnya mampu mengelola basis uang itu secara mandiri dan terkontrol sesuai dengan produktivitas kerja di masyarakat suku bangsa.
Dan dalam peraturan negara terutama di Indonesia telah mengatur itu dengan baik.
Mari liat pada tafsir UUD 1945 Pasal VIII Bab Keuangan, dimana sejatinya uang adalah alat pengukur harga dan nilai dari setiap produktivitas yg di ciptakan oleh manusia.
Tapi kondisi sekarang "Uang" malah dijadikan alat dagang/perutangan bahkan pemuja kekuasaan yang efeknya membawa kerusakan yang tersistem.
Disini lain, saking hebat dan cerdasnya pembuat sistem perbankan ini sebagai akibat dari sisipan aturan yang mengikat para pemujanya, maka sulit sekali untuk dibobol hingga dikalahkan.
Di Negara Indonesia sendiri, bawahan dari raja sistem itu kita kenal dengan "Bank Sentral yakni Bank Indonesia".
Bank Indonesia yang kemudian mengatur moneter keuangan Negara Indonesia, terkait berapa uang yang akan dicetak dan diedarkan.
Basis "DON Sistem" dalam tubuh BI membuat negara tak tau menau seberapa banyak uang yg dicetak, diedar bahkan disesuaikan dengan kebutuhan Anggaran Pembangunan Negara.
Bahkan negara pun dianggap asing dan tidak diperbolehkan sama sekali ikut campur masalah itu.
Hal ini dapat kita buka dan pelajari sendiri di negara hukum kita, Indonesia.
Dalam UU RI No.17 Tahun 2003 pasal 6 ayat 2 point d dikatakan bahwa pemerintah tidak berhak mengurus masalah moneter yakni pencetakan dan pengedaran uang, UU.No. RI No.7 Tahun 2011 pasal 15, pasal 16 point 1, Tap MPR RI No.XVI Tahun 1998 Pasal 9 (MPR RI masih Lembaga Tertinggi Negara) hak moneter berada ditangan BI dan lembaga diluar BI termasuk pemerintah tidak boleh ikut campur atas hak tersebut.
Sungguh dapat kita bayangkan, betapa kejinya sistem ini. Kebutuhan uang negara versus berapa banyak yang dicetak, negara tertutup matanya akan hal itu.
Mirisnya lagi dalam proses yang terjadi, BI dibawah komando sang raja dipaksa harus mencetak uang dengan begitu terbatasnya.
Sehingga menyebabkan kita harus berebut bola mendapatkannya.
Ibarat "Satu Piring Nasi" diperebutkan oleh "5 orang Manusia yg Kelaparan" Bisa kita bayangkan apa yang kemudian terjadi.
Efek bola salju dari semua sistem ini adalah keributan, perpecahan, perang pemikiran, konflik kepentingan, rebutan kekuasan bahkan ekstremnya adalah saling bunuh satu sama lain hingga kemudian tanpa sadar kita memujanya sebagai Tuhan baru dalam kehidupan.
Defisit APBN, Defisit Anggaran BPJS hingga IURAN naik, Konflik Papua akibat Ketidakmeraatan Pembangunan, Gulung Tikarnya beberapa BUMN hingga PHK- PHK Karyawan dan serupanya adalah dapat menjadi bukti fakta yang kini.