Foto, Mahfud MD, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), saat ditemui dalam acara Korps Alumni Mahasiswa Islam (KAHMI) di Hotel Sahid, Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Jakarta, SpiritNews.com.-HM Mahfud MD, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa seluruh pihak harus menghormati keputusan Presiden Joko Widodo apakah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) revisi UU KPK atau tidak.
Sementara menurut Mahfud, Presiden Jokowi saat ini sedang berada dalam kondisi yang dilematis untuk memutuskan mengeluarkan perppu atau tidak.
Sambung Mahfud menuturkan sehingga rakyat harus menyadari, partai politik dan DPR juga harus memaklumi bahwa presiden itu dihadapkan pada pilihan yang sangat dilematis, mengeluarkan perppu dianggap salah, tidak mengeluarkan perppu dianggap salah," ujar Mahfud saat ditemui dalam acara Korps Alumni Mahasiswa Islam (KAHMI) di Hotel Sahid, Jakarta, dikutip dari Media Kompas.com, Pada Hari Rabu Tanggal 16/10/2019.
"Karena negara ini negara demokrasi, maka DPR, parpol, maupun rakyat harus menerima apapun yang diputuskan Jokowi. Kalau tidak mengeluarkan perppu, ya sudah, mau apalagi kan.
Kalau mengeluarkan ya harus diterima juga," sambungnya, baik dikeluarkan atau tidak, lanjut Mahfud, agenda pemberantasan korupsi lewat penyempurnaan UU KPK masih terbuka untuk direvisi ke depannya.
Ia mendorong apapun keputusan presiden, seluruh pihak menghormati karena situasi tersebut tidaklah mudah bagi Jokowi.
"Baik mengeluarkan atau tidak, pembicaraan lebih lanjut untuk pemberantasan korupsi dan penyempurnaan UU KPK itu masih terbuka. Jadi ya, kita juga perlu tahu presiden dihadapkan pada pilihan dilematis," ucapnya.
Diketahui, UU KPK hasil revisi yang disahkan 17 September lalu ramai-ramai ditolak karena disusun secara terburu-buru tanpa melibatkan masyarakat dan unsur pimpinan KPK.
Isi UU KPK yang baru juga dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antikorupsi itu.
Misalnya KPK yang berstatus lembaga negara dan pegawai KPK yang berstatus ASN dapat mengganggu independensi. Dibentuknya dewan pengawas dan penyadapan harus seizin dewan pengawas juga bisa mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK.
Kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.
Setelah aksi unjuk rasa besar-besaran menolak UU KPK hasil revisi dan sejumlah RUU lain digelar mahasiswa di sejumlah daerah, Presiden Jokowi mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu KPK. Belakangan rencana itu mendapat penolakan dari parpol pendukung Jokowi-Ma'ruf. (*) Sumber Berita Kompas.com.