Foto, Kapolres Gowa, AKBP Shinto Silitonga, saat menjelaskan perlunya perlunya profesionalisme penyidik.
Gowa, SpiritNews. Com.- Kapolres Gowa AKBP Shinto Silitonga, mengatakan Profesionalisme Penyidik Sebagai Kebutuhan Bukan sebuah Slogan, katqnya Pada 26 Agustus 2019 lalu Kapolres Gowa telah melakukan simulasi tentang prosedur olah TKP.
Sementara menurut Kapolres nagaimana dalam giat tersebut tergambar bagaimana seharusnya perlakuan penyidik bila menemukan TKPnya.
Diungkapkqn pula mengenai makna TKP terkadang dilupakan oleh penyidik. Tidak hanya tempat terjadinya kejahatan, TKP harus dimaknai sebagai tempat ditemukannya pelaku kejahatan juga tempat ditemukannya barang bukti yang patut diduga berkaitan dengan suatu kejahatan.
Kapolres Gowa mencontohkan sederhana, ketika penyidik melakukan penangkapan di suatu rumah dan menemukan sajam, bom molotov di rumah tersebut, maka tempat itu harus dimaknai sebagai TKP dan berlakulah profesionalisme olah TKP sebagai suatu kebutuhan, katanya.
Selain itu dikatakannya bahwa termasuk gagal dalam olah TKP, maka akan memberikan kesulitan kepada penyidik untuk merangkai alat bukti guna menemukan tersangkanya.
Tindakan represif kepolisian dengan mendatangi basecamp komunitas, bertemu dengan puluhan member komunitas dan menemukan barang bukti berupa senpi, sajam, bom molotov, narkoba, dokumen penting, dan lain-lain harus ditindaklanjuti dengan profesionalisme oleh TKP.
Bisa dibayangkan kalau tidak ada olah TKP secara profesional, maka kumpulan barang bukti akan diserahkan semuanya kepada penyidik di kantor, dan penyidik pasti akan kewalahan untuk menindaklanjutinya dalam pemeriksaan.
Apalagi jika penyidik tidak ikut saat penindakan dilakukan. Belum lagi kalau petugas lapangan yang tidak profesional olah TKP itu menyerahkan puluhan orang kepada penyidik di kantor. Sempurna stressing yang dialami penyidiknya.
Penindakan di lapangan yang disertai dengan olah TKP secara profesional tentu saja akan memudahkan pemeriksaan lanjutan oleh penyidik di kantor.
Petugas lapangan ketika menemukan sajam di TKP, tolong jangan tergesa-gesa untuk mengambilnya.
Ikuti standar prosedur untuk memfoto, memberi nomor dan mencari pemiliknya terlebih dahulu, tentu saja dengan langkah itu, penyidik tidak sulit untuk memeriksa pemilik sajam dan menyita sajam tersebut dari pemiliknya sesuai foto yang sudah diberikan petugas lapangan.
Dalam teorinya bahkan diwajibkan ketika petugas lapangan akan menyerahkan barang dan orang kepada penyidik di kantor, maka petugas lapangan harus memaparkan temuannya, menjelaskan rinci posisi temuannya dan membantu penyidik untuk melengkapi pemeriksaan. Kondisi ini mencerminkan sinergitas dan keharmonisan petugas lapangan dan penyidik di kantor dalam membangun suatu perkara.
Ego sektoral petugas lapangan yang seolah-olah ingin mengaktualisasikan diri dengan heroisme sempit tentu saja berdampak pada sulitnya penyidik untuk mengelola informasi dari barang bukti dan puluhan orang yang dibawa.
Waktu penguasaan terhadap orang yang hanya 24 jam, jumlah penyidik di kantor yang tidak signifikan juga kemampuan penyidik yang beragam akan ikut mempengaruhi tidak optimalnya pemeriksaan.
Akibatnya bisa fatal, kantor kepolisian dikomplain, gugatan pra peradilan, lepasnya subjek hukum yang seharusnya bertanggungjawab dan bisa juga muncul persepsi di media sosial yang mendiskreditkan penyidik.
Dengan demikian, penting dipahami bahwa penyidik dan petugas lapangan yang disebut penyelidik adalah profesi.
Diakhir keterangan Kapolres Gowa berharap agar semuanya menghormati profesi tersebut dengan terampil menjalankan SOP sehingga SOP itu akan terus menjadi kebutuhan, bukan hanya sebagai slogan, selanjutnya Shinto Silitonga
Penyidik Profesional, (*).