-->

SPIRITNEWS BERITANYA: LUGAS, JUJUR DAN DAPAT DIPERCAYA

**** SPIRITNEWS "AYO KITA MEMILIH PEMIMPIN YANG PEDULI KEPENTINGAN RAKYAT DAN YANG MENGUTAMAKAN KEBUTUHAN RAKYAT , " ****
PENINDASAN PENDIDIKAN  :  Sebuah tinjauan kritis pendidikan di Indonesia
PENINDASAN PENDIDIKAN  :  Sebuah tinjauan kritis pendidikan di Indonesia

PENINDASAN PENDIDIKAN : Sebuah tinjauan kritis pendidikan di Indonesia





Yusrin A. Tosepu
Ketua Lembaga Studi Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (LSP3I) 
Chapter Sulawesi Selatan Pemerhati Bidang Pendidikan dan Komunikasi Politik

 “Pendidikan yang selama ini nyaris dianggap sakral karena sarat dengan kebajikan,
ternyata juga mengandung penindasan.”
Kutipan di atas adalah pernyataan Paulo Freire, wajar untuk direnungkan sekaligus diaktualisasikan dalam memperbaiki penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Pernyataan Freire itu merupakan gugatan atas kebanyakan hubungan sosial dalam masyarakat kapitalis - seperti juga hubungan sosial yang terjadi pada tatanan masyarakat kita. Pendidikan harus sebagai media liberasi atau pembebasan. 

Mengapa pendidikan seakan menjadi causa prima dari berbagai permasalahan lainnya adalah karena pendidikan yang bertanggung jawab penuh pada manusia sebagi subjek dan objeknya. Sudah banyak pendapat yang dikemukakan oleh para pakar dan akademisi mengenai definisi dari pendidikan itu sendiri. Namun, semua merujuk pada satu pengertian sederhana yaitu bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Pendidikan berlandaskan penuh dengan hakikat kita semua sebagai manusia, sehingga sederhananya, manusia membutuhkan pendidikan untuk dapat sepenuhnya menjalani kehidupannya baik sebagai individu maupun makhluk sosial. Betapa fundamentalnya permasalahan pendidikan membuat pendidikan menjadi kunci utama permalasalahan kelompok manusia lainnya, dari ekonomi hingga politik.

Misi Utama Pendidikan
Manusia sebagai subjek sekaligus objek pendidikan dalam sejarahnya selalu disertai kutub dikotomi hakikat manusia, yaitu sebagai makhluk individu  dan makhluk sosial. Hal ini membuat dinamika kehidupan manusia selalu merupakan konflik antara prinsip individualisme yang menuntut individu untuk menjadi ‘dirinya sendiri’, dan prinsip kolektivisme yang menganggap individu sebagai bagian kolektif dari kelompok dan mimiliki fungsi tertentu untuk mendukung keseluruhan tujuan bersama. Kita tidak dapat mengatakan salah satu dari prinsip ini yang harus diprioritaskan, oleh karena itu pendidikan sebagai bagian penting pembentukan manusia harus melibatkan dua dimensi ini. Setiap individu, selain memiliki potensi yang bersifat pribadi untuk dikembangkan, juga memiliki nilai dan norma yang harus dipatuhi sebagai dampak posisi dan interaksinya terhadap lingkungannya. Keseimbangan antara keduanya akan menghasilkan manusia yang seutuhnya.

Saeful Millah (2006) dalam artikelnya menjelaskan secara singat dan tepat misi utama pendidikan Manusia adalah makhluk tidak sempurna. Karena itu, manusia selalu dituntut untuk selalu berusaha menjadi subjek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya, yakni menjadi subjek yang manusiawi. Di situlah pula arti pentingnya kehadiran pendidikan yang membebaskan. Kata kuncinya adalah HUMANISASI.
Pendidikan mesti memiliki misi ganda, yakni meningkatkan kesadaran kritis peserta didik sekaligus mentransformasikan struktur sosial yang menindasnya. kesadaran manusia itu berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan yang membentuknya. Setiap manusia punya potensi untuk berkembang dan memengaruhi lingkungan, namun sebaliknya ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial tempat ia berkembang.

Perlu dimaklumi, kesadaran kritis yang adalah bentuk kesadaran yang selalu melihat struktur dan struktur sebagai sumber masalah. Itu sebabnya, arah pendidikan adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta didik terlibat dalam setiap proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.Itulah pula yang kemudian melahirkan tentang arti pentingnya peran guru sebagai pekerja kultural (cultural workers). Sebagai cultural workers, guru dalam penyelenggaraan pendidikan selain memiliki tugas untuk memberikan pengajaran di ke¬las, juga harus mampu menjadikan pendidikan sebagai medium untuk mereproduksi sruktur sosial yang membebaskan. Itulah pula yang membuat filsuf pendidikan abad ke-20 ini berpendapat bahwa pendidikan itu juga harus merupakan tindakan politik.

Penindasan (terhadap) Pendidikan
Sejak revolusi industri, benih-benih globalisasi mulai muncul dan tumbuh subur seiring dengan berkembangnya teknologi informasi yang saat ini sudah mencapai kecepatan perkembangan yang menakjubkan. Hal ini menghasilkan bentuk persaingan baru antar bangsa yang diakibatkan pergeseran paradgima sebagai dampak dari globalisasi. Pergeseran ini disebutkan oleh Kuntowijoyo merupakan peralihan dari paradigma keunggulan komparatif menuju keunggulan kompetitif.

Globalisasi kemudian menciptakan suasana kompetisi yang sangat tinggi, dengan menghadapi persaingan global yang tidak pernah berhenti, apalagi mengetahui kemajuan-kemajuan yang ada di negara lain, pendidikan pada akhirnya mengalami dampaknya sebagai yang berperan dalam pembentukan manusia. Ketika kebanggaan sumber daya alam sebagai bentuk komparasi tidak lagi menjadi keunggulan dengan adanya pergeseran paradigma, kualitas sumber daya manusia kemudian menjadi fokus utama persaingan sebagai bentuk kompetisinya. Kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan individu terus berusaha ditempa dalam rangka menghadapi tantangan globalisasi. Hal ini secara tidak langsung berujung pada kacamata materialisme yang memandang manusia berdasarkan “harga”, yang dapat dinilai dan dibanding-bandingkan satu dengan lain untuk dapat dikonversi menjadi potensi materi. Paham materialistik yang hanya memandang manusia sebagai alat kerja tidak menghormatinya sebagai manusia seutuhnya. Hal ini yang disebut Paulo Freire dalam “Pendidikan Kaum Tertindas” sebagai pendidikan ‘gaya bank’, yang mana murid bagaikan gelas kosong yang diisi air belaka, menilainya dalam bentuk ‘harga’, bukannya ‘martabat’.

Individualisme dan materialisme akhirnya menjadi tumbuh lambat laun dengan adanya perubahan kacamata pandang ini.Human Capital dalam bentuk keahlian dan intelektualitas menjadi perhatian utama. Dampak utama dari kompetisi ini adalah terciptanya seleksi ‘hukum alam’, yang mana yang kuat adalah yang dapat bertahan, yang lebih terampil dan berpengetahuan adalah yang dapat berdiri dalam badai globalisasi. Seleksi alam ini pda akhirya tidak memberikan banyak pilihan pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk tertatih-tatih mengikuti arus yang ada. Walau itu berarti menggerus dan beralih dari cita-cita utama, yang penting adalah dapat mengejar ketertinggalan. Sederhananya, jika tidak dapat bersaing, kita akan kalah. Prinsip ini terus berkembang hingga akhirnya mengakar menjadi pandangan umum masyarakat terhadap pendidikan.

Realitas  pendidikan kita hari ini adalah  “Gaya Bank”, seperti yang telah diungkapkan Paulo Freire dalam “Pendidikan Kaum Tertindas”,  anak didik tidak dilihat sebagai yang dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang dimasukan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya. Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi, murid hanya menghafal seluruh yang diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti. Anak didik adalah obyek dan bukan subyek.

Disebut pendidikan gaya bank sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada anak didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Semua yang dipelajari anak didik adalah segala sesuatu yang berada di luar diri dan lingkungan kehidupan yang nyata. Anak didik dibuatnya asing dari kehidupan nyata yang sebenarnya dia hadapi.

Anak didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya anak didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Sejatinya, pendidikan adalah memanusiawikan manusia artinya manusia sebagai mahluk aktif yang perlu membuat pilihan-pilihan atas tanggung jawab pribadi mengenai pendidikannya sendiri. Dimana manusia adalah mahluk yang berelasi dengan Tuhan, sesama dan alam. Dalam relasi dengan alam, manusia tidak hanya berada di dunia tetapi juga bersama dengan dunia. Kesadaran akan kebersamaan dengan dunia menyebabkan manusia berhubungan secara kritis dengan dunia.
Manusia tidak hanya bereaksi secara refleks seperti binatang, tetapi memilih, menguji, mengkaji dan mengujinya lagi sebelum melakukan tindakan. Tuhan memberikan kemampuan bagi manusia untuk memilih secara reflektif dan bebas. Dalam relasi seperti itu, manusia berkembang menjadi suatu pribadi yang lahir dari dirinya sendiri.
Lalu bagaimana praktik-praktik penindasan yang dilakukan guru dalam pembelajaran atau saat proses transfel ilmu kepada anak didik?

Pertama, pemberian materi pelajaran yang tidak sesuai dengan umur dan tingkat kecerdasan anak didik. Contoh, kurikulum taman kanak-kanan adalam bermain dan mengenal huruf dan angka. Namun, praktik di lapangan banyak guru-guru sekolah TK yang melakukan dril kepada siswa-siswinya untuk bisa membaca dan menghitung penjumlahan, pengurangan, bahkan perkalian. Jika mereka di tanya tentang hal itu, mereka menjawab: “Ini adalah tuntutan untuk dapat masuk di sekolah-sekolah faforit”. Demikian juga banyak guru yang berkata: “Materi anak SD sekarang seperti materi SMP dulu, materi SMP sekarang seperti materi SMA dulu”. mereka seorang pendidik yang mengajarkan materi produk baru. Hati kecil mereka menatap pada anak didiknya dengan rasa iba dan penuh belas kasihan. Hati kecil mereka seakan-akan berkata: “Belum saatnya kalian mempelajari materi-materi seperti ini, karena terlalu berat bagi kalian”.
Misalnya, guru SD kelas I pada semester I menanyakan kepada muridnya: “Bagaimana sikap kamu terhadap bencana gempa bumi?”, “Sebutkanlah nama-nama buah berikut ini dalam bahasa Inggris, kemudian buatlah dari kata-kata tersebut sebuah kalimat”, atau “Deskripsikan ibadah puasa dan sebutkan tiga doanya”.

Kedua, pekerjaan rumah buat anak didik sebanyak tiga sampai lima halaman untuk sebuah mata pelajaran. Walau anak dibantu orang tua murid sampai pukul 12 malam, PR mereka tidak dapat diselesaikan. Orang tua ikut merasakan kesulitan yang dihadapi anaknya. Mereka hawatir anaknya tidak dapat menuntaskan tuntutan guru. Sehingga, bagi yang berduit mereka memanggil guru prifat masing-masing bidang studi. Kapan mereka dapat beristirahat? Kapan mereka bisa berekreasi? Ingat, bahwa dunia anak adalah dunia bermain. Kalau semua waktu yang mereka miliki dipaksa untuk belajar dan belajar, bukan keberhasilan yang di dapat justru kemerosotan. Dari sini tampak betapa berat beban anak didik saat ini.

Ketiga, Guru hanya mengajarkan sejumlah halaman buku tanpa mempersoalkan apakah anak didik mereka paham atau tidak. Proses pengajaran yang dilakukan guru tidak membumi di hati anak didiknya. Asal materi selesai -tanpa memperhatikan satu-persatu pada kemampuan siswa- tugas dia sebagai guru selesai. Sehingga dalam suasana kelas yang tertinggal merasa minder untuk berkompetisi dengan teman yang lainnya. Jiwa anak akan tertekan dan pesimis. Bahkan jika ada anak didik yang tidak paham dan sulit memahami materi yang disampaikan guru, malah dia mengomeli dan menjewer, dan memrbei sanksi. Sehingga anak menjadi jera, tidak simpati, tidak tertarik, dan enggan mempelajari pelajarn yang diajarkan oleh guru tersebut.

Keempat, Guru memberikan sanksi yang dapat mematahkan motifasi anak didik untuk mengembangkan motorik kasar dan motorik halusnya. Seperti, mencubit atau memukul hingga anak kesakitan, menyuruh membersihkan kamar mandi, berlari 15 putaran lapangan sekolah, dan penindasan mental mereka.

Kelima, Guru bermuka masam dan bersikap dingin dihadapan anak didiknya. Guru adalah figur teladan yang menjadi orang tua mereka di sekolah. Jika mereka bersikap dingin dan masam tanpa kehangatan, keakraban, kedekatan dengan siswa, siswa merasa takut untuk bertanya dan berkomunikasi lebih dekat dengan guru.
Sebenarnya banyak sekali contoh-contoh penindasan dan penjajahan anak didik yang terjadi di kelas saat pembelajaran. Ini terjadi akibat dari sikap dan prinsip guru dan pengelola pendidikan di Republik Indonesia ini, cenderung memperlakukan anak didik sebagai orang dewasa kecil. 

Penindasan (oleh) Pendidikan
Sebagai dampak dari globalisasi dan perkembangan teknologi yang tak dapat dibendung, Indonesia sebagai negara berkembang secara lambat laun membentuk perspektif pembangunan bangsa yang berpijak pada human capital, karena sangat jelas bahwa pembangunan sumberdaya manusia dalam perspektif pembangunan ekonomi telah diakui sebagai salah satu bentuk investasi yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan produktivitas suatu bangsa. Pijakan ini kemudian berpengaruh besar pada sektor-sektor lainnya, termasuk pendidikan sebagai pembentuk sumberdaya manusia itu sendiri.

Perspektif pendidikan yang tefokus pada pembangunan ekonomi  ini menimbulkan paradigma umum masyarakat yang melenceng dari fungsi utama pendidikan. Yang berkembang di masyarakat akhirnya adalah pandangan bahwa salah satu tujuan seseorang menempuh jenjang pendidikan adalah agar memiliki keterampilan hidup dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidupnya dalam aspek ekonomi. Seseorang yang terdidik memiliki jalan yang lebih terbuka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dikarenakan semua keterampilan dan ilmu yang didapatnya selama proses pendidikan menjadi sebuah “harga” yang dapat ditukarkan dengan kebutuhan lain. Pendidikan bukan lagi dipandang untuk menaikkan derajat seorang manusia dari segi norma dan moral, tapi sekedar dari intelektualitas.

Selama ini kondisi pendidikan di Indonesia berada pada hal yang kita kenal dengan ‘lingkaran setan’, siklus tiada henti yang menjebak seseorang dalam suatu keadaan. Untuk dapat memperoleh pendidikan, seseorang membutuhkan biaya dan waktu yang lebih, agar pada akhirnya hasil dari proses pendidikan itu adalah untuk mendapatkan biaya dan waktu yang lebih. Apabila seseorang berada di bawah batas biaya dan waktu yang dibutuhkan ia tidak dapat menempuh pendidikan secara normal untuk dapat mendapatkan biaya tambahan. Hal ini akhirnya menjadi perenggang kesenjangan sosial terbesar, yang pintar semakin pintar dan sebaliknya, yang kaya semakin kaya dan sebaliknya.

Di telisik lebih lanjut, seleksi ini meningkat dengan tingginya tingkat pendidikan dan akan semakin terlihat pada perguruan tinggi, yang merupakan pabrik akhir proses pendidikan. Wajar apabila memang pada pendidikan dasar-menengah, tingkat pendidikan akan semakin mempertinggi pula ketegangan seleksi yang terjadi. Jumlah yang dapat bersekolah hingga SMA akan lebih rendah daripada yang dapat bersekolah SMP, begitu pula yang SMP lebih rendah ketimbang yang SD. Tapi melihat lingkaran yang ada,apakah yang lulusan SMP dengan lulusan SD memiliki perbedaan signifikan dalam hal probabilitas mencari biaya hidup? Yang terjadi adalah setiap jenjang pendidikan dasar-menengah tidak memiliki perbedaan yang berarti jika dilihat dalam perspektif pendidikan yang memandang manusia dalam bentuk keterampilan dan intelektualitas.

SD-SMP-SMA adalah satu paket proses sedemikian sehingga menempuh sebagiannya saja hampir tidak ada bedanya dengan tidak mengikuti sama sekali. Di dalam satu paket itu sendiri pun ada seleksi kualitas dalam bentuk kompetisi yang tidak dapat kita pandang sebelah mata. Banyak siswa-siswa yang memang benar-benar menonjol dalam hal akademik sehingga memperlihatkan prestasi yang membanggakan bahkan hingga skala internasional. Namun demikian, prestasi ini belum dapat dibanggakan karena hanya diperoleh sebagian kecil siswa yang dilatih khusus oleh guru yang terlatih pula. Pada kenyataannya, mayoritas siswa Indonesia memiliki presatasi yang relatif rendah ketimbang negara-negara lain. Bahkan, akibat dari sistem kompetisi seperti ini, semakin terlihat lebih banyak siswa-siswa dari sekolah ‘papan bawah’ yang belum mendapat perhatian. Sistem kompetisi hanya menguntungkan siswa-siswa ‘papan atas’ yang mendapat perhatian dari guru-guru berkualitas. Sistem ini merupakan hasil dari pengembangan siswa berdasarkan human capital yang semakin memperkuat individualisme dan ketidakadilan.

Tugas pemerintah dalam hal membuat semua orang dapat bersekolah dasar-menengah sebenarnya bukan sebuah tantangan yang di luar jangkauan, tapi apalah artinya jika semua itu hanya mengejar kuantitas manusia yang bersekolah dalam bentuk formalitas keberhasilan pembangunan? Memandang manusia tidak sebagai manusia akan membuat seleksi ini semakin menggerus fungsi pendidikan yang seharusnya terfokus padadignity. Seseorang dapat bersekolah SD hingga SMA mungkin adalah hal yang cukup bagus, tapi yang terpenting adalah telah menjadi apa orang tersebut setelah menempuh pendidikan tersebut? Lebih buruknya lagi, kemungkinan mayoritas lulusan SMA tidak mengerti sepenuhnya manfaat dari kebanyakan materi pendidikan yang diajarkan di sekolah. Karena apa? Karena sekali lagi, fokus pendidikan dalam efek globalisasi saat ini adalah untuk menciptakan tenaga kerja, apabila tidak diteruskan ke perguruan tinggi, semua ilmu itu seakan menguap begitu saja, mengendap dalam memori, terkecuali SMK yang memang telah dilatih hingga ke peneraan ilmu itu sendiri. Walaupun begitu, prinsip kurikulum SMK tidak menjawab masalah melencengnya tujuan pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia.

Pada tahap berikutnya, yakni pendidikan tinggi, seleksi yang sebenarnya baru terjadi. Pendidikan tinggi adalah pintu terakhir keluarnya hasil proses pendidikan yang utuh,yang telah sempurna menempuh setiap tahap dan lolos dari berbagai seleksi yang menindas. Bahkan, seseorang baru dapat dikatakan terdidik (educated man), apabila telah minimal menempuh pendidikan tinggi. Di sini peserta didiknya memiliki identitas baru yang memiliki sejarah harum sebagai garda terdepan perubahan.  Identitas, yang kita kenal sebagai intelektual ini yang selanjutnya memberikan beban besar di pundak masing-masing peserta didik sebagai mereka ‘yang terpilih’ dari proses kompetisi yang tercipta.
Kaum intelektual, yang melekat pada nama lain, mahasiswa, mungkin tidak sekedar nama yang mungkin terdengar biasa saja pada kebanyakan telinga. Mereka mengalami kematangan ilmu yang dikembangkan dalam budaya akademik yang tersistemasi dalam tridharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat). Dari tiga dharma tersebut dapat kita pahami betapa besarnya beban seseorang yang terdidik. Di sini dapat terlihat sesuatu yang lebih dalam mengenai pendidikan, yaitu bahwa tujuan pendidikan bukanlah semata-mata untuk mengembangkan kemampuan intelektual, lebih dari itu adalah untuk meningkatkan taraf hidup peserta didik maupun masyarakatnya. Selain itu, peranan pendidikan bukan hanya sekedar penerima nilai-nilai budaya tetapi juga sebagai unsur pengembang kebudayaan artinya pendidikan sebagai suatu proses kehidupan yaitu untuk menolong diri sendiri dan meningkatkan martabat masyarakatnya. Pendidikan memang tidak dapat dilepaskan dari martabat manusia, yang dalam bentuk kolektif tersusun dalam bentuk budaya.

Sayangnya, bentuk ideal selalu sangat berbeda ketimbang realita. Sebagai akibat susana kompetisi yang terbentuk sejak sekolah dasar, mental bersaing yang tertanam dalam peserta didik pun bersifat individualistik dan self-centered, terlebih ketika setiap perkembangannya keunggulan selalu dikaitkan dengan human capital. Mental individual ini yang secara terpadu dipupuk sedikit demi sedikit selama sekolah dasar-menengah akhirnya mengikis tanggung jawab moral dalam kepribadian setiap peserta didik. Kalaupun pada masa pendidikan tinggi terselip sedikit mengenai idealisme-idealisme  retorik mengenai mahasiswa sebagai agen perubahan dan lainsebagainya, ataupun diberikan pemahaman mengenai tridharma perguruan tinggi dan tetekbengek-nya, semua hanya seakan melukis di atas air, karena kepribadian manusia telah terpatri ketika ia mengalami sekolah dasar-menengah. Paradigma pendidikan berorientasi pembangunan hanya akan menghasilkan mental-mental pekerja, bukan pengabdi, mental peniru, bukan pengembang, mental individu, bukan sosial. Hal ini yang akhirnya membuat pendidikan tinggi hanya sebagai penyempurna para pekerja, yang berikutnya ketika lulus entah kemana.

Ketika kita bertanya, siapa yang bertanggung jawab terhadap yang tidak terdidik? Tentu saja mereka yang terdidik! Sehingga dalam konsep makronya, seharusnya mereka yang berhasil lolos seleksi alam yang terjadi dalam sebuah perjuangan panjang akan kembali untuk membantu mereka yang tidak mampu lolos. Anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah “dosa” setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini. Tapi apalah guna berbicara yang ideal apabila paradigma masih melenceng dariesensi, ketiadaan tanggung jawab moral yang semestinya ditanamkan selama menempuh pendidikan dasar-menengah membuat pendidikan menjadi produsen penindas itu sendiri. Intelektualitas adalah suatu hal yang membebaskan orang menjadi manusia seutuhnya dengan akal pikiran yang mandiri. Mereka yang intelek artinya adalah yang sadar sepenuhnya akan siapa dia dan apa yang harus dia lakukan. Kesadaran dan kebebasan inilah yang menjadi inti utama pendidikan ketika diterapkan pada kaum-kaum tertindas seperti yang coba dikaji oleh Freire. Namun ketika kaum intelektual itu sendiri memanfaatkan kesadaran dan kebebasannya tanpa disadari dengan tanggung jawab dan etika moral, kaum intelektual sama saja mengambil kebebasan itu dari yang seharusnya hak setiap manusia dalam hidup. Mereka yang dapat menjadi sarjana hanya menjadi budak-budak korporasi ataupun penjahat-penjahan birokrasi di pemerintahan atau mugkin hanya jadi sekedar manusia biasa yang hanya bisa bereaksi atau apatis terhadap bangsanya sendiri. Lalu apa bedanya, kaum intelektual dengan penindas itu sendiri?

Pada dasarnya, seleksi yang terjadi menghasilkan dua kutub manusia yang berbeda, mereka yang tidak mampu menyelesaikan seleksi dengan menempuh pendidikan secara sempurna hingga pendidikan tinggi terjebak dalam lingkaran yang membuatnya selalu berada dalam keadaan tidak mampu untuk mengubah taraf hidupnya. Mereka kehilangan kesukarelaan dalam bertindak karena adanya keharusan bekerja dari kecil ataupun ketidakmampuan meraih akses pendidikan. Hal ini yang digolongkan lagi oleh Bertens sebagai kebebasan moral, yaitu kebebasan yang terlepas dari paksaan moral atau ketidaksukarelaan dalam melakukan sesuatu dalam hidupnya. Sedangkan untuk mereka yang berhasil lolos dan menjadi intelektual sepenuhnya akan terkekang zaman dan terbawa arus, membawanya secara tidak sadar menuju pengasingan jati diri, mengikuti mode, dan akhirnya merenggut kebebasan eksistensialnya. Terenggutnya kebebasan eksistensial mereka yang lolos ini membuat mereka kehilangan kepedulian dan tanggung jawab moral terhadap bangsanya sendiri, menjadi individualistik dan ignorant sehingga berbalik menjadi penindas mereka yang tertindas kebebasan moralnya. Menjadi ironi memang ketika pendidikan yang gagal melaksanakan esensinya akhirnya membentuk penindas itu sendiri, atau dengan kata lain penindasan yang terjadi dilakukan oleh pendidikan itu sendiri.

Pendidikan “Hadap-Masalah”
Menurut Ki Hajar, proses pendidikan bagi manusia berlangsung dalam tiga lembaga yang disebutnya sebagai tripusat pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya secara bertahap dan terpadu mengamban tanggung jawab pendidikan dan merupakan komponen utama pendidikan manusia sepanjang kehidupannya.
Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternative, artinya Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada anak didik supaya ada kesadaran akan realitas itu.

Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia memunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik. Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri anak didik. Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu:
(1)Kesadaran intransitif di mana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas.
(2)Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu, di mana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.
(3)Kesadaran Naif. Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.
(4)Kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.

Jadi, bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak dari kesadaran anak didik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang di atasnya.

Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi guru murid (perbedaan guru sebagai yang menjadi sumber segala pengetahuan dengan murid yang menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Anak didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya guru tidak berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari masalah yang dihadapi. Guru dan anak didik bersama-sama sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan.

Guru bertindak dan berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, anak didik adalah partisipan aktif dalam dialog tersebut. Materi dalam proses pendidikan yang demikian tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket tetapi sejumlah permasalahan. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam diskusi dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami oleh anak didik dalam konteksnya sehari-hari, misalnya dalam pemberantasan buta huruf.

Pertama-tama peserta didik dan guru secara bersama-sama menemukan dan menyerap tema-tema kunci yang menjadi situasi batas (permasalahan) anak didik. Tema-tema kunci tersebut kemudian didiskusikan dengan memerhatikan berbagai kaitan dan dampaknya. Dengan proses demikian anak didik mendalami situasinya dan mengucapkannya dalam bahasanya sendiri. Inilah yang disebut oleh Freire “menamai dunia dengan bahasa sendiri”. Kata-kata sebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian dieja dan ditulis. Proses demikian semakin diperbanyak sehingga anak didik dapat merangkai kata-kata dari hasil penamaannya sendiri.

Pendidikan Untuk Masa Depan
Dari semua penjelasan dan kajian di atas, terlihat bagaimana pendidikan terbawa arus globalisasi dan mengalami pengasingan diri terhadap kebebasan eksistensial yang dimiliki untuk menjalankan cita-cita utamanya. Ketika pendidikan menjadi korban, ia secara tidak sadar pun akhirnya menciptakan paradigma dan sistem yang menghasilkan penindas-penindas baru dalam bentuk intelektualitas yang tidak memiliki tanggung jawab moral ataupun cenderung berpaham individualistik. Hal ini menciptakan rantai raksasa ‘lingkaran setan’ yang sebenarnya. Bermula dari globalisasi hingga berdampak pada nasib masa depan anak-anak bangsa.

Meminjam istilah dari Daoed Joesoef, pendidikan pada prinsipnya memikul amanah “etika masa depan”, yang di sini berarti bahwa setiap manusia saat ini memikul tanggung jawab besar atas semua konsekuensi dari tiap perbuatannya saat ini terhadap apa yang akan terjadi berikutnya di masa depan. Hal ini membuat kerangka paradigma terhadap pendidikan haruslah jangka panjang, memandang bagaimana bentuk suatu bangsa beberapa tahun ke depan. Apa yang akan terjadi di masa depan berada di tangan manusia-manusia yang akan menjalankannya, dan bagaimana agar manusia-manusia tersebut dapat menjadi manusia seutuhnya dengan hakikat yang seharusnya merupakan tugas utama pendidikan.

Bagaimana kita memandang manusia dengan tepat seperti ini berpengaruh besar pada bagaimana pendidikan itu dilaksanakan. Tak ada gunanya kita mengembangkan sektor lain dalam perlombaan yang tidak ada ujungnya bila sebagai bangsa kita kehilangan jati diri dan terasingkan dari kebebasan eksistensial kita sebagai akibat dari pendidikan yang berbasis pembangunan. Sejak bangkitnya orde baru, kebebasan ini telah mulai direnggut sedikit demi sedikit dan membuat Indonesia tertindas dengan cara yang baru, apa yang sekarang dikenal dengan neokolonialisme.

Salah satu peran pendidikan, dengan melakukan inovasi-inovasi sosial, seharusnya yang dapat menjadi pendorong dan pengarah perubahan sosial yang terjadi. Namun pada kenyataannya, dengan bergesernya paradigma pendidikan, yang justru lahir adalah paradoks. Perubahan sosial yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi dan globalisasai yang tak dapat dibendung berjalan jauh lebih cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju perubahan pendidikan. Pendidikan yang seharusnya menjadi agen perubahan akhirnya tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial yang terjadi secara akurat. Hal ini cukup ironis karena jelas ketidakmampuan mengelola dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama artinya dengan menyiapkan keterbelakangan. Entah apa yang akan terjadi di masa depan apabila kesenjangan antara laju perubahan sosial dengan pembaruan pendidikan masih terentang jauh. 

Pendidikan bukanlah hal yang dapat dipandang sebelah mata dalam pengembangan suatu bangsa. Tidak masalah apabila kesejahteraan ekonomi, percepatan pembangunan, dan berbagai kebijakan lainnya menjadi hal yang juga menjadi perhatian, namun jangan sampai semua itu mempengaruhi bagaimana kita seharusnya memandang pendidikan.
Memang, ketika seluruh rakyat tertindas dalam keterbatasan yang berlebihan, hanya pikiran bebas yang dapat melawannya, dan hal itu hanya dimiliki oleh seorang intelektual. Sangat disayangkan apabila seperti yang saya jelaskan di atas, bila kaum intelektual, sebagai harapan terakhir bangsa terjebak dalam bentuk penindasan yang lebih besar lagi, dalam bentuk individualisme dan materialisme, yang merenggut kesadaran moral dan sosial hingga akhirnya berujung pada padamnya semangat kebangsaan.


Baca juga:

Admin
Fusce justo lacus, sagittis vel enim vitae, euismod adipiscing ligula. Maecenas cursus gravida quam a auctor. Etiam vestibulum nulla id diam consectetur condimentum.