-->

SPIRITNEWS BERITANYA: LUGAS, JUJUR DAN DAPAT DIPERCAYA

**** SPIRITNEWS "AYO KITA MEMILIH PEMIMPIN YANG PEDULI KEPENTINGAN RAKYAT DAN YANG MENGUTAMAKAN KEBUTUHAN RAKYAT , " ****
 KEPEMIMPINAN KEPALA DAERAH (Catatan pinggir dari sebuah Realitas)
 KEPEMIMPINAN KEPALA DAERAH (Catatan pinggir dari sebuah Realitas)

KEPEMIMPINAN KEPALA DAERAH (Catatan pinggir dari sebuah Realitas)


Yusrin A. Tosepu
Ketua Lembaga Studi Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (LSP3I) Chapter 
Sulawesi Selatan Pemerhati Bidang Pendidikan dan Sosial Politik

Berbagai teori dan pengalaman menunjukkan bahwa mengubah lingkungan alam dan taraf hidup masyarakat dalam suatu daerah sangat ditentukan oleh pemimpin pemerintahan sebagai pengendali penyelenggaraan pemerintahan. Karena ditangannya ada kekuasaan dan kewenangan yang diberikan negara untuk mengatur , menata manusia dan alam yang ada di dalam ruang lingkup wilayahnya. Sejalan dengan kewenangan tersebut maka diikuti dengan pengelolaan keuangan negara yang diberikan kepada daerah yang menjadi tanggung jawabnya agar dikelola dan dimanfaatkansebesar-besarnya untuk mendatangkan kebaikan kepada masyarakat.Atas dasar kewenangan tersebut maka untuk mewujudkannya kata pelayanan masyarakat menjadi penting. Pelayanan masyarakat adalah tugas pemerintah yang paling pokok dan kerjakeras adalah sikap yang paling diharapkan dari setiap pemimpin pemerintahan yaitu bupati,walikota untuk melaksanakannya. Penjabaran atas dua prinsip itu hendaknya menjadi pedoman bagi setiap pemimpin pemerintahan dan aparatur pemerintah. Salah satu perubahan mendasar dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah di era otonomi daerah yaitu proses seleksi kepemimpinan eksekutif lokal yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Output pilkada diharapkan pemimpin eksekutif lokal yang bisa memenuhi preferensi mayoritas masyarakat lokal dan mempercepat terbentuknya pemerintahan daerah yang lebih baik (good governance).

Dengan begitu, dari sisi subtansi, pilkada diharapkan bisa melakukan proses seleksi pemimpin yang dinilai rakyatnya terbaik untuk melakukan perubahan-perubahan yang menjanjikan dan memberi manfaat kepada masyarakat luas. Apakah gambaran lahirnya seorang pemimpin produk pilkada tersebut dalam prakteknya bisa diwujudkan? Namun, secara umum hampir di semua daerah proses pilkada belum melahirkan pemimpin yang bisa melakukan perubahan mendasar untuk mempercepat kemajuan daerah, bahkan ada kecenderungan dengan pilkada justru menimbulkan sejumlah persoalan yaitu: Pertama, pilkada ternyata tidak ada hubungan antara pemilih (konstituensi) dengan kompetensi. Seseorang calon kepala daerah walaupun dipilih dengan perolehan suara terbanyak tidak berarti menjadi kepala daerah yang memiliki kemampuan. Karena, dalam realitasnya proses rekrutmen pilkada, aspek kualifikasi kemampuan termarjinalkan oleh faktor popularitas, kemampuan finansial, dan parpol pengusung. Di sinilah proses seleksi pemimpin menjadi bias karena realitas politik di masyarakat dan parpol baru sebatas penarikan dukungan belum sampai pada upaya pencarian pemimpin yang memiliki visi dan kapasitas memimpin pemerintahan.

Kualifikasi dan kemampuan seseorang akan dikalahkan ketidakmampuannya dalam mengakses kepentingan partai politik. Kedua, proses pengusungan calon dalam satu paket menimbulkan konflik karena formasinya bisa dilakukan secara beragam. Misalnya, kepala daerah diusung dari PDIP dan wakilnya dari kader Golkar. Bisa juga, calon kepala daerah dari parpol dan calon wakilnya dari birokrat. Jadi, dalam sistem satu paket, variasi pasangan bisa dari latar belakang yang berbeda. Saat proses pencalonan sampai pada pemilihan tidak ada masalah, namun ketika pasangan itu terpilih dan kemudian memimpin pemerintahan terjadi konflik kepentingan karena berbagai faktor seperti: kewenangan tidak bisa diimplementasikan secara efektif, kepala daerah/wakil kepala daerah bisa dikendalikan kepentingan partai politik, rebutan pengaruh kekuasaan dan kepentingan rebutan proyek. Ketiga, legitimasi calon terpilih rendah. Aturan main calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dalam UU hanya mensyaratakan 25 %. Ketentuan ini telah menyebabkan terjadinya proses delegitimasi terhadap kepemimpinan kepala daerah. Dengan ketentuan ini seorang kepala daerah bisa terpilih dengan modal dukungan hanya sekitar 25 % dari total pemilih, artinya 75 % pemilih sesungguhnya tidak memberikan dukungan terhadap kepala daerah terpilih. Keempat, ketimpangan dukungan politik dari DPRD. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih bisa berasal dari parpol yang tidak menguasai suara mayoritas di DPRD. Misalnya, calon terpilih dari PDIP, sementara di DPRD yang menguasai mayoritas adalah Partai Golkar. Apa akibatnya? Jika seni leadership dan kemampuan komunikasi politiknya lemah, berpeluang untuk “dimain-mainkan” bahkan sangat mungkin dicari-cari kesalahan oleh DPRD untuk dijatuhkan kepemimpinanya. Juga, sangat berpeluang terjadi disharmonisasi antara kepala daerah dengan DPRD; yang terjadi bukan bagaimana mengefektifkan penggunaan kekuasaan, tapi adalah bagaimana memperebutkan kekuasaan untuk kepentingan politik sesaat (the politics of opportunities).

Kalangan anggota DPRD merasa sebagai penguasa politik tunggal di daerah yang mengendalikan eksekutif. Saat sama, pemilik atau pengelola uang daerah, sebagaimana fungsinya, adalah pemerintah daerah (pemda). Parahnya, sebagian besar (untuk tidak dikatakan semua) anggota DPRD kondisi sosial ekonominya rentan, sementara mereka mengendalikan pihak yang memiliki atau mengelola uang (pemda). Maka, tidak heran bila perasaan berkuasa diekspresikan dengan melakukan berbagai tekanan terhadap gubernur/bupati/wali kota atau jajaran pejabat pemda lain sehingga bisa memperoleh uang atau bentuk-bentuk kompensasi materi lain bagi kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam kondisi seperti itu, bila pihak pemda bersifat kooperatif dalam arti memahami kehendak terselubung para anggota DPRD, maka gubernur/bupati/wali kota akan selamat dari ancaman impeachment. Tetapi, saat itu pula konspirasi yang menyalahgunakan uang negara/rakyat terjadi, karena untuk saling menyelamatkan dan memuaskan tiada lain kompensasinya adalah uang. Proses-proses konspirasi dan penyalahgunaan uang itu berlangsung amat tertutup atau tak bisa secara langsung dipantau masyarakat luas.

Sebaliknya, bagi gubernur/wali kota/bupati yang tak bisa memuaskan atau memenuhi kepentingan materi anggota DPRD, maka akan selalu dibayang-bayangi upaya impeachment. (Laode Ida, 2002) Kelima, batas-batas kewenangan pejabat politik dan pejabat birokrasi tidak jelas, sehingga kekuasaan menjadi terpusat di kepala daerah. Akibatnya, urusan penyelenggaraan pemerintahan yang lazimnya menjadi kewenangan otoritas birokrasi, bisa diintervensi oleh kepentingan pejabat politik. Fenomena rolling pejabat struktural di pemda dan distribusi alokasi anggaran dalam APBD sangat ditentukan oleh otoritas kepala daerah. Suasana pemerintahan menjadi tidak kondusif dan tidak efektif karena dikalangan pegawai pemda dihantui penuh ketidakpastian jenjang karier.

Model kepemimpinan kepala daerah di era otonomi daerah tidak hanya terbentuk dari sistem pilkada langsung, tetapi juga akibat sistem demokratisasi pemerintahan dan konsekuensi tuntutan good governance. Proses demokratisasi pemerintahan dan penerapan good governance menggeser model kepemimpinan pemerintahan yang semula kental dengan konsep memerintah, memberi perintah dalam arti to give orders.

Di dalam perkembangan sekarang kepemimpinan pemerintahan lebih menekankan pada kiat mengajak, menggalang, memberdayakan, dan menggairahkan. Pergeseran model kepemimpinan tersebut, seharusnya didukung sebuah kesadaran masyarakat sebagai pemilih untuk menempatkan dan memosisikan proses pemilihan kepala daerah bukan sekadar persaingan memperebutkan kekuasaan. Tapi secara subtantif harus memunculkan kepala daerah yang memiliki kemampuan memerintah dan bisa melakukan perubahan-perubahan yang lebih baik bagi kemajuan daerah dan masyarakatnya. Jika pilkada berhasil digelar tapi gagal dalam memunculkan kepala daerah yang memilki kapasitas dalam mengelola pemerintahan ke arah perubahan yang lebih baik, maka kita jangan berharap banyak terhadap kemajuan masyarakat dan daerahnya. Oleh sebab itu, sudah saatnya ada pembelajaran politik bagi masyarakat agar bisa secara cerdas mendorong terjadinya proses seleksi calon kepala daerah yang mengedepankan aspek kemampuan dan memiliki keberpihakan untuk memajukan masyarakat dan daerahnya.

Pembangunan Daerah
Peran seorang kepala daerah sangat strategis untuk menggugah kesadaran bersama bahwa pembangunan menjadi tanggung jawab bersama. Selain itu, harus dilaksanakan bersama dan untuk kepentingan bersama pula.

Kepala daerah tentu bukanlah manusia super. Ia tidak harus pandai dalam segala hal, tidak harus muncul pada tiap aktivitas pembangunan, juga tidak harus mengawasi segala kegiatan aparatnya. Namun tak dapat ditawar, ia harus memiliki komitmen kuat untuk menjamin seluruh proses manajemen pembangunan daerah dikendalikan dan dilaksanakannya secara utuh, baik dan sesuai dengan rencana yang dibuatnya.

Untuk sampai ke target itu, manajemen pembangunan daerah harus dikelola dengan manajemen mondial, yang menggabungkan aspek kepemimpinan struktural dan kepemimpinan partisipatif. Dengan demikian segala aktivitas pembangunan akan terbingkai dalam partisipasi publik yang sinergis dengan dinamika politik kedaerahan.

Kita dapat menyebut beberapa nama dari sedikit kepala daerah di Tanah Air, seperti Tri Rismaharini (Kota Surabaya), Mochamad Ridwan Kamil (Kota (Bandung) dan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok (Provinsi DKI Jakarta) yang dianggap mampu menangani manajemen pembangunan daerah. Hal itu seyogianya menjadi cermin bagi rakyat dan masyarakat di Sulawesi Tenggara untuk sampai pada keyakinan bahwa kemajuan daerah bukanlah hal mustahil.

Berpijak pada hal itu maka kepala daerah harus bisa berperan sebagai top manager dalam pembangunan daerah, sehingga secara nyata tampil memimpin seluruh rakyat untuk terlibat dalam proses pembangunan. Dari titik itu, muncul dua istilah kunci, yaitu kepala daerah sebagai pemimpin (leader) dan manajer. Dua istilah itu sangat berbeda, sebagaimana diungkapkan Warren Bennis dalam buku On Becoming a Leader. Perbedaan dasarnya adalah pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar, sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat. Contoh pemimpin adalah Soekarno yang berhasil membawa bangsa ini meraih mimpi kemerdekaan, namun kurang berhasil mengisi pembangunan pada era kekuasaannya. Soeharto justru sebaliknya, berhasil menjadi manajer pembangunan walaupun paradigmanya penuh kontroversi, namun dinilai kurang berhasil membangun soliditas kebangsaan.

Dua peran kepemimpinan daerah, yaitu peran manajer dan leader seharusnya dimiliki oleh semua kepala daerah khususnya di wilayah Sulawesi Tenggara, dan dikombinasikan secara terprogram demi kontekstualisasi pembangunan yang lebih kuat. Harus ada pola di mana pemimpin melakukan inovasi, sedangkan manajer yang mengelola. Dua aspek itu harus dimiliki oleh kepala daerah, yaitu saat ia datang menawarkan visi-misi dan program kerja dalam kampanye, lalu ketika terpilih menjadi kepala daerah. Publik bisa melihat apakah ia dapat mengawal pemerintahannya untuk melaksanakan gagasan dalam pembangunan. Jadi, kepala daerah berperan penting dalam kegiatan pembangunan. Bukan hanya dengan bahasa indah janji manis kampanye, melainkan pembuktiannya yang sangat dinantikan oleh rakyat. Ia harus menjadi manajer pembangunan yang baik di wilayah kerjanya. Sejumlah idealisme program kerja menjadi sia-sia di hadapan rakyat, bila kenyataannya rakyat tidak menikmati perubahan dan perbaikan nasib.

Pelayanan publik yang membaik dan tata kota yang lebih indah dan teratur adalah perspektif bahasa pemimpin, sedangkan wujudnya dalam perspektif bahasa manajer adalah pelayanan kesehatan yang murah dan berkualitas, jalanan yang kian mulus, dan penyediaan air bersih menyeluruh. Jika masyarakat bersama bergabung dengan kegiatan pembangunan secara nyata, muncullah ikatan kepercayaan yang akan menjadi modal utama dalam pembangunan. Selanjutnya, kepala daerah secara otomatis harus menukar peran sebagai manajer, yang menurut Drucker bahwa tugasnya adalah untuk mempertahankan kontrol atas masyarakat dengan membantu mengembangkan aset mereka sendiri dan mengeluarkan kemampuan mereka yang terbesar. Itulah sebabnya kepala daerah sebagai manajer kemudian harus menciptakan sistem pemerintahan yang baik dan kondusif, tidak sebaliknya.

Kepemimpinan bukan tentang apa yang telah dilakukan oleh seorang kepala daerah melainkan apa yang orang lain lakukan sebagai respons terhadapnya. Seandainya tidak ada yang muncul dari rakyatnya sebagai tindakan-tindakan pembangunan, seorang kepala daerah tidak bisa disebut sebagai seorang pemimpin.

Kemajuan Daerah 
Kesalahan manajemen dalam pembangunan daerah adalah masalah yang banyak kita temui di tengah pergolakan politik regional di sebagian besar daerah di Indonesia, dan itu butuh solusi tepat dan cepat. Upaya meluruskan kesalahan itu sebenarnya tidak terlalu sulit. Intinya adalah bagaimana kepala daerah sebagai top manager dalam pembangunan daerah dapat memainkan peran nyata. Artinya, dia bisa memimpin seluruh warganya menghimpun potensi daerah dalam sebuah sistem pembangunan daerah yang sinergis.

Mengapa kita masih belum mempunyai seorang sosok pemimpin ideal yang membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat? Mungkinkah tidak ada lagi pemimpin yang memiliki integritas dan kemampuan kepemimpinan yang baik yang tidak hanya memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya semata. Kita semua pastinya merindukan seorang pemimpin yang ketika terpilih mengayomi semua lapisan masyarakat tanpa membedakan suku, agama, ras maupun afiliasi partai politik. Berpihak kepada rakyat dan bukan hanya berpihak kepada kroni, golongan dan keluarganya.

Pemimpin daerah harus mampu mengatur hubungan-hubungan sosial untuk mencapai harmoni dalam masyarakat yakni memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menjalankan dan menegakkan aturan atau hukum yang telah ditetapkan bersama. Yang dimaksud dengan pelayanan masyarakat yaitu pelayanan yang diberikan oleh pemerintah untuk menjawab kesulitan dan kebutuhan masyarakat terutama hal-hal yang pokok atau yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yaitu: kesehatan,pendidikan, insfrastruktur dan ekonomi masyarakat. Contoh pelayanan kesehatan masyarakat: bila ada yang sakit perlu dirawat dan diobati sehingga pulih dan sembuh, ini yang di sebut pelayanan kesehatan. Supaya orang sehat apa yang harus dibuat? Harus disiapkan dan dididik orang menjadi tenaga terampil atau siap pakai yang mempunyai pengetahuan kesehatan. Untuk merawat orang sakit perlu dibantu dengan obat dan peralatan dan dilaksakan dalam satu bangunan, yang disebut Pusat Kesehatan Masayarakat (Puskesmas) dan Rumah Sakit (RS). Agar tenaga medis itu betah dan bekerja dengan tenang membutuhkan tempat tinggal dan fasilitas pendukung: perabot,fasilitas komunikasi, dan kendaraan sehingga dapat memperlancar tugas. Kebutuhantersebut perlu disiapkan oleh pemerintah sehingga pelayanan kesehatan masyarakat dapat terlayani dengan baik. Pelayanan pendidikan: supaya warga penduduk yang ada di suatu wilayah minimal harus tahu membaca , menulis dan berhitung. Agar ada pengetahuan tentang membaca, menulis dan berhitung serta pengetahuan lainnya dapat terwujud maka perlu ada tenaga pendidik yang mempunyai kualifikasi pendidikan tertentusesuai bidang studi masing-masing, mata pelajaran, kurikulum, tempat mengajar/bangunan dan rumah guru yang dilengkapi dengan fasilitas pendukung. Kebutuhan tersebut disiapkan oleh pemerintah sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik.

Pembangunan infrastruktur yaitu jalan, jembatan, dermaga, lapangan terbang serta energy listrik. Secara bertahab disiapkan atau dibangun oleh pemerintah dan untuk energy listrik, karena kebutuhan dunia terhadap BBM terbatas, maka secara bertahap dialihkan kepada sumber energi terbarukan antara lain berupa: angin, air, panas bumi, sinar matahari dan gelombang laut. Pemerintah secara bertahap mengupayakan kebutuhan infrasruktur untuk mendukung pelayanan kesehatan, pendidikan, ekonomi masyarakat dan pelayanan pemerintahan.

Di dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pemimpin pemerintah tidak dapat melibatkan segala bentuk kepentingan pribadi atau kelompok dengan mengorbankan kepentingan umum, kasar ataupun halus betapapun hal itu dimungkinkan oleh kelemahan sistem organisasi maupun karena adanya peluang-peluang yang terbuka sebagai konsekuensi besarnya wewenang yang dimiliki. Dengan kata lain mentalitas pengabdian pada hakekatnya merupakan pendorong bagi setiap pemimpin untuk bekerja lebih keras dan memberikan yang terbaik dalam mengemban kepentingan umum.

Selanjutnya pengabdian itu sendiri menunggu kita untuk menempatkan diri sebagai bagian dari masyarakat atau sebagai warga masyarakat. Sebagai tindak lanjut dari pengabdian adalah keteladanan maka diharapkan kepala daerah sekaligus pemimpin pemerintah harus dekat dengan masyarakat, peka dan tanggap akan keluhan-keluhan mereka, beban-beban yang dipikulkan dan yang tidak terpikulkan oleh mereka, memahami harapan-harapan dan mimpi-mimpi mereka serta tahu cara-cara yang tepat untuk mengatasi masalah-masalah mereka. Kepala derah sebagai Pemimpin pemerintahan diharapkan menjadi teladan bagi yang dipimpinnya yaitu pegawai negeri sipil dan masyarakat yang ada di wilayah kepemimpinannya. Teladan berarti menjadi panutan dan cermin bagi yang dipimpinnya melalui tutur kata, tindakan atau perbuatan. Tutur kata dan perbuatan harus sama, artinya apa yang kita ucapkan harus kita nyatakan atau realisasikan dalam perikehidupannya. Dalam bahasa sehari-hari “tidak boleh ada dusta diantara kita”, yaitu pemimpin dengan rakyat yang dipimpinnya. Kenapa demikian? Karena rakyatlah yang telah memilih dia dalam proses pemilihan kepala daerah. Itu berarti rakyat telah mempercayakan, memberikan sebagian hak kedaulatannya ke tangan pemimpin untuk membawa perubahan hidup kepada rakyat. Perubahan yang dimaksud adalah “mulai dari yang dulu tidak ada menjadi ada, yang dulu menjadi mimpi sekarang menjadi kenyataan, yang lemah dapat dikuatkan, dan yang tidak dengar-dengaran dan yang rusak dapat dibetulkan”. Ini yang menjadi tanggungjawab kepala daerah selaku pemimpin. Pemimpin yang bekerja baik selalu berada di tengah masyarakat, mendengar kebutuhan mereka dan melihat permasalahan mereka dan akan cepat menjawab kebutuhan rakyat.

Baca juga:

Admin
Fusce justo lacus, sagittis vel enim vitae, euismod adipiscing ligula. Maecenas cursus gravida quam a auctor. Etiam vestibulum nulla id diam consectetur condimentum.