Foto,Petugas
KPK Memeperlihatkan Barang Bukti hasil sitaan dari
Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Jakarta,SpiritNews.com.- -Belum
genap dua bulan, dua panitera pengadilan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Setelah sebelumnya panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution,
kini giliran panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara Rohadi yang harus
berurusan dengan KPK karena diduga terlibat dalam kasus suap perkara.
Edy Nasution ditangkap pada Rabu (20/4/2016), bersama seorang pekerja
swasta bernama Doddy Aryanto Supeno. Keduanya telah ditetapkan sebagai
tersangka selaku pemberi dan penerima suap.
Uang sebesar Rp 50 juta yang disita dalam operasi tangkap tangan tersebut
diduga terkait pengajuan peninjauan kembali (PK), dua perusahaan swasta yang
sedang berperkara di PN Jakarta Pusat.
Hingga saat ini, penyidikan mengenai kasus dugaan suap di PN Jakpus terus
berjalan. Diduga, Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurachman terlibat dalam
kasus tersebut.
Selanjutnya, KPK menetapkan empat orang tersangka seusai menggelar operasi
tangkap tangan terkait suap perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rabu
(15/6/2016). KPK awalnya menangkap Rohadi bersama seorang pengacara Saipul
Jamil, Bertanatalia.
KPK menangkap keduanya saat terjadi penyerahan uang dari Berta kepada
Rohadi. Uang sebesar Rp 250 juta yang dibungkus dalam tas plastik merah, diduga
suap yang diberikan terkait perkara Saipul.
Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengatakan, dalam kasus tersebut,
pemberi suap diduga menjanjikan memberi uang Rp 500 juta kepada panitera PN
Jakut. Uang tersebut disediakan oleh Saipul Jamil. Pemberian itu diduga untuk
mengurangi vonis hakim terhadap Saipul.
Jaksa menuntut hakim untuk menjatuhkan vonis 7 tahun penjara bagi Saipul.
Namun, dalam putusannya, hakim menjatuhkan vonis 3 tahun penjara bagi Saipul.
Mantan hakim, Asep Iwan Iriawan menilai, banyaknya oknum di lembaga
peradilan yang terjerat korupsi, karena tidak lagi memiliki rasa takut terhadap
penegak hukum. Baik panitera mau hakim, dinilai telah terbiasa menerima suap
sehingga tidak lagi merasa takut dipenjara.
Menurut Asep, beberapa penangkapan tidak lagi dianggap sebagai peringatan,
tetapi hanya sebagai suatu kesialan dan pelajaran agar mencari cara agar
korupsi tidak tercium oleh penegak hukum.
"Padahal baru ada yang ditangkap, tapi mereka tidak pernah tobat,
tidak pernah kapok. Korupsi sudah menjadi watak dan tabiat sehingga susah
menolak suap," ujar Asep saat dihubungi Kamis (16/6/2016).
Menurut Asep, persoalan korupsi yang melibatkan hakim maupun panitera
pengadilan tidak lepas dari tanggung jawab Mahkamah Agung. Dalam hal ini,
menurut Asep, MA tidak mampu memberikan contoh yang baik bagi lembaga di
bawahnya.
MA jadi sorotan
Pada Februari lalu, KPK menangkap Kasubdit Kasasi Perdata Direktorat
Pranata Dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah Agung Andri Tristianto
Sutrisna, atas keterlibatan dalam kasus suap.
Dalam beberapa waktu terakhir, Sekretaris MA Nurhadi terus diperiksa oleh
penyidik KPK. Nurhadi diduga terlibat dalam kasus suap di PN Jakpus.
"MA belum bisa memberi teladan yang baik," kata Asep.
Menurut Asep, mau tidak mau MA harus bisa mengganti pegawai maupun hakim
yang dianggap memiliki rekam jejak buruk, dan dekat dengan kasus korupsi.
Pembenahan hanya dapat dilakukan dengan mengganti sumber daya manusia yang ada.
Sementara itu, terkait banyaknya oknum di instansi peradilan yang terjerat
korupsi, Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengatakan, pihaknya terus
berkoordinasi dengan MA untuk melakukan perbaikan sistem di lembaga peradilan.
Misalnya, pimpinan KPK telah memikirkan untuk membuat suatu kajian kerja
sama dengan MA, khususnya mengenai tindakan pencegahan apa yang akan dilakukan
agar tidak lagi ada oknum di pengadilan yang terlibat suap.
"Apa yang harus dilakukan masih dalam proses sekarang. KPK telah
memikirkan bagaimana tindakan pencegahan supaya tidak terjadi hal yang
sama," kata Basaria.(*).Sumber berita Kompas.com.