Pangdam VII/Wrb Mayjen TNI Agus Surya
Bakti saat memberikan materi
pada kegiatan Halqah seri ke-50 Islam dan
Peradaban yang dilaksanakan oleh
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Sulawesi
Selatan, di Gedung Graha Pena lantai IV. Kamis (25/2),
SpiritNews.com.- Pola perkembangan aksi
terorisme sekarang telah berubah drastis. Jika dulu penyebarannya melalui
cara-cara konvensional, yakni melalui dakwah, sekarang melalui buku, radio, dan
dunia maya. Cara yang terakhir ini sudah sangat berbahaya.
Dulu
sasarannya adalah menghancurakan bangunan, seperti gedung kedutaan besar,
sekarang sasarannya adalah menghancurkan pikiran. Akibatnya, masyarakat yang
tadinya penuh toleransi dan hidup dengan budaya gotong-royong, kini berubah
menjadi kehidupan yang diwarnai penghasutan dan kebencian, tindak kekerasan,
serta pembunuhan atas nama agama.
Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme tidak lagi memadai dalam
menghadapi perubahan seperti ini.
Hal tersebut
merupakan benang merah dari presentasi Pangdam VII/Wrb Mayjen TNI Agus Surya
Bakti pada kegiatan Halqah seri ke-50 Islam dan Peradaban dengan tema, “Revisi
UU Terorisme, Perlukah…” yang dilaksanakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
Sulawesi Selatan, Kamis (25/2), di Gedung Graha Pena lantai IV.
Halqah seri
ke-50 ini menghadirkan empat narasumber. Tiga narasumber lainnya adalah Dr.
Arqam Azikin, M.Si dosen Universitas Muhammadiyah Makassar yang juga pengamat
politik, Abdul Salam dari Departemen Kajian Politik HTI Sulawesi Selatan, dan
Abdul Jalil Humas (HTI) Sulawesi Selatan.
Perubahan pola
aksi terorisme lainnya yang dipaparkan oleh Pangdam VII/Wrb adalah menyangkut
nama organisasi. Nama organisasinya berubah, tetapi orangnya dan ideologinya
tetap itu-itu juga. Demikian pula sasarannya. “Dulu selalu Amerika dan
barat sasarannya, seperti orang Amerika yang ada di Palestina dan di
negara-negara di Timur Tengah dan ini membangkitkan sentimen.
Sekarang
sasarannya adalah objek dalam negeri, seperti kantor polisi atau personel
polisi, karena polisi merupakan representasi dari negara.
Mujahid-mujahid
yang pulang dari Afghanistan ke Indonesia mencari musuh. Sehingga, gurunya jadi
musuh, ustadnya jadi musuh. Ini adalah euforia kemenangan,” ujar Pangdam.
Jika dulu para
teroris bergerak dalam organisasi besar seperti Al Qaedah, Jamaah Islamiyah,
tambah Pangdam, sekarang bergerak dalam kelompok-jelompok kecil.
“Menjadi
serigala tunggal, tapi punya kesamaan visi tentang musuh yang dihadapi.
Sekarang kelompok empat atau tiga orang, atau bahkan satu orang mampu melakukan
aksi teror. Dulu bomnya besar seperti TNT, sekarang kecil, bom rakitan dan
terakhir adalah racun sianida,” tegas Pangdam.
Fenomena
tersebut menjadi alasan mengenai urgensi revisi terhadap UU Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Terorisme. Ada beberapa poin penting yang harus
diperhatikan dan perlu dijadikan pertimbangan dalam melakukan revisi UU
tersebut.
Salah satunya
adalah soal persepsi tentang definisi terorisme. Hal ini penting dipertegas
karena bervariasinya definisi tentang terorisme. Definsi Indonesia tentang
terorisme berbeda dengan definisi yang dibuat oleh Amerika, sehingga melahirkan
reaksi yang berbeda.
“Saya telah
mengumpulkan definisi terorisme dan ada 227 definisi yang berhasil dikumpulkan.
Sekarang setiap orang bebas menentukan definisnya,” tegas Pangdam.
Pangdam
VII/Wrb menekankan tujuh hal yang dianggap urgen dimasukkan dalam revisi UU
Terosimes diantaranya;
Pertama, harus
dinyatakan bahwa terorisme itu adalah ancaman nasional.
Selama ini
aksi-aksi terorisme yang ada belum pernah dinyatakan sebagai ancaman nasional.
Kedua, nama
undang-undang tersebut juga harus mengalami perubahan bukan hanya
pemberantasan, tetapi ada nuansa pencegahan.
Ketiga, perlu merumuskan pemberdayaan
lembaga-lembaga negara dan masyarakat dalam pencegahan terorisme.
Keempat, perlu
pula ada rumusan yang jelas tentang kategorisasi tindak pidana terorisme.
Kelima, perlu
ada pernyataan larangan yang tegas tentang pendirian organisasi radikal dan
larangan latihan militer.
Keenam, perlu ada aturan yang melarang
pengiriman orang untuk bergabung dengan organisasi radikal dan menyumbangkan
hartanya untuk membiayai kegiatan radikal.
Ketujuh, harus
ada larangan memperjual-belikan bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk
menghancurkan manusia.(*) Sumber beruta
Pendam VII/Wrb.