Oleh :
AKP HERIYANTO, AMK, SH, MH
(KAURREN BIDDOKKES POLDA
SULSEL)
MAHASISWA PASCA SARJANA
STIA LAN &
DOKTORAL HUKUM UMI
MAKASSAR
Dengan semakin maraknya tindak pidana pembunuhan yang
kita saksikan akhir-akhir ini dengan segala macam bentuk modus operandinya, di
mana yang menjadi korbannya tidak hanya orang dewasa, namun yang lebih
mengenaskan adalah anak kecil, diantaranya kasus pembunuhan bocah 8 Tahun
Engeline Megawe di Denpasar Bali yang banyak menyita perhatian publik,
peristiwa penemuan mayat Febrina Harahap anak 11 Tahun yang diduga pelakunya
adalah penderita pedofilia sampai pada kasus pembunuhan bocah dalam kardus di
Kalideres yang menghebohkan.
Dengan adanya kerja keras dari penyidik kepolisian
untuk mengungkap tindak pidana tersebut akhirnya mulai memperlihatkan titik
terang bahkan telah ada yang diajukan untuk dilakukan pemeriksaan di
pengadilan, hal ini tidak dapat dipisahkan dari peranan kedokteran forensik
untuk membantu pengungkapan tindak pidana tersebut.
Setiap kejahatan disamping merupakan masalah hukum juga
termasuk masalah sosial dan masalah teknis. Kejahatan sebagai masalah hukum
merupakan suatu perbuatan yang menyebabkan seseorang harus dipidana, sehingga
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hukum.
Kejahatan dapat pula
digolongkan sebagai masalah sosial, karena yang menjadi subjek atau pelaku kejahatan
adalah manusia begitupun juga pihak yang dirugikan adalah manusia, sehingga
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial.
Sedangkan bila ditinjau
dari cara seseorang atau penjahat melakukan
kejahatannya (modus operandi),
maka kejahatan dapat dikategorikan sebagai masalah teknis karena dalam
penanganannya memerlukan bantuan disiplin ilmu di luar hukum antara lain bantuan
ilmu kedokteran forensik terutama dalam penanganan tindak pidana yang
berhubungan dengan masalah gangguan kesehatan, perlukaan dan kematian seseorang
yang diduga karena akibat suatu peristiwa pidana.
Pada dasarnya peranan ilmu kedokteran forensik dalam
penanganan perkara pidana pembunuhan adalah untuk menentukan tanda-tanda atau
sebab-sebab kematian (sign of death)
dan mengetahui waktu kematian (time of
death) sehingga proses penyidikan dapat dilakukan secara cermat,teliti dan
terarah guna membuktikan unsur-unsur yang dipersangkakan,memberikan gambaran
mengenai hubungan kausalitas antar pelaku dan korban kejahatan serta membantu
penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam menemukan kebenaran
materiil (materiil waarheid).
Secara empirik dalam penanganan tindak pidana pembunuhan,
masih seringkali dijumpai adanya kesalahan atau kekeliruan sehingga proses penyelesaian
tindak pidana tersebut menjadi berlarut-larut karena belum ada bukti yang cukup,
hal ini dapat disebabkan karena aparat penegak hukum atau penyidik tidak
memiliki pengetahuan teknis yang memadai mengenai kedokteran forensik atau sama
sekali tidak melibatkan fungsi kedokteran forensik dalam penanganan tindak
pidana pembunuhan tersebut.
Menurut P.V. Chadha (1995 : 74) bahwa permasalahan yang
sering ditemukan dalam mendeteksi tindak pidana, yaitu :
1. Penyidik mungkin tidak sempat mendatangi tempat kejadian tindak pidana
karena kesibukannya, akibatnya banyak waktu yang terbuang dalam upaya
mengumpulkan petunjuk pada peristiwa kriminal tersebut dan proses pembusukan
jenazah (dekompensasi) juga mempersulit
petugas medis untuk memastikan sebab kematian.
2. Kurangnya pendidikan petugas polisi dalam hal mediko-legal, sehingga laporan yang
dihasilkan juga kurang lengkap. Pada saat jenazah tiba untuk diperiksa petugas
medis, jenazah tersebut sudah mengalami pembusukan, akibatnya menyulitkan
penyelidikan masalah kriminal itu.
3. Sering terjadi di mana keluarga dan teman dari almarhum
menutup-nutupi informasi karena mereka khawatir akan diikutkan dalam proses
pengadilan.
4. Keadaan geografis dan cuaca sangat memudahkan terjadinya
pembusukan (dekompensasi). Daerah
yang sangat luas juga akan mempersulit membawa jenazah dengan cepat ke tempat
petugas medis yang berwenang untuk memeriksa.
5. Permusuhan dalam keluarga bisa menunjukkan
persekongkolan dan salah sangka dalam menentukan
penanggung jawab tindakan kriminal.
6. Ahli kedokteran forensik biasanya tidak mengunjungi
tempat kejadian perkara, sehingga tidak mendapatkan informasi yang mungkin
berguna.
Dari perspektif yuridis peranan kedokteran forensik dalam
penanganan perkara pidana pembunuhan diatur pada Pasal 133 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa “ Dalam hal penyidik untuk
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun
mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan
atau ahli lainnya ”.
Selaras dengan Pasal 133 KUHAP tersebut di atas, pada Pasal
120 (1) KUHAP ditegaskan bahwa “Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat
minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”.
Keberadaan
kedokteran forensik dalam membantu pengungkapan suatu perkara pidana pembunuhan
sangat diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1 (28) KUHAP bahwa “Keterangan ahli adalah keterangan
yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan”.
Implementasi dan aktualisasi peraturan perundangan-undangan
yang mengatur tentang peranan kedokteran forensik dalam rangka pembuktian
tindak pidana pembunuhan pada dasarnya merupakan refleksi dari kebijakan negara
yang dilaksanakan oleh para aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan
Kehakiman) untuk mengatasi atau menyelesaikan permasalahan yang terjadi baik
melalui pencegahan (preventif) maupun
penindakan (represif).
Upaya atau ikhtiar dalam rangka mengoptimalkan peranan
kedokteran forensik pada penanganan tindak pidana pembunuhan sejauh ini telah
dilakukan melalui perbaikan atau penyempurnaan peraturan perundangan-undangan
misalnya pada ayat (1) dan (2) Pasal 122 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan secara tegas dinyatakan bahwa :
(1) Untuk kepentingan
penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;
(2) Bedah mayat
forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli
forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan
perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan ;
Disamping itu upaya untuk meningkatkan peranan kedokteran
forensik dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan dengan melalui penambahan jumlah
(kuantitas) dan peningkatan kompetensi (kualitas) aparat penegak hukum yang
memiliki kemampuan atau kualifikasi forensik baik melalui pendidikan maupun
pelatihan formal yang dilakukan secara berkesinambungan sehingga diharapkan
kebutuhan akan SDM yang mempunyai kualifikasi kedokteran forensik secara
bertahap dapat terpenuhi.
Upaya - upaya konkret yang telah dilakukan tersebut di
atas, sejauh ini belum mampu mengatasi permasalah empirik yang terjadi di
lapangan. Dalam pandangan penulis selain faktor peraturan perundang-undangan
(substansi hukum) dan lembaga/institusi (struktur hukum) termasuk aparat
pelaksana yang harus dibenahi,juga tidak kalah pentingnya adalah menyangkut
perbaikan metode atau cara kerja yaitu terbangunnya sistem kerjasama antar
fungsi yang solid dan konstruktif dalam satu wadah fungsional melalui pembentukan
“Unit
Pelayanan Terpadu” dalam penanganan tindak pidana utamanya tindak
pidana pembunuhan yang melibatkan fungsi-fungsi terkait : Reserse, Identifikasi, Labfor, Kedokteran Forensik dan Fungsi lainnya.
Adanya gagasan atau ide pembentukan “Unit Pelayanan Terpadu”
dalam penanganan tindak pidana utamanya tindak pidana pembunuhan, didasarkan
pada beberapa pertimbangan bahwa :
Soliditas dan kekompakan antar fungsi
atau bagian dapat terbangun dengan baik;Pengambilan keputusan dapat dilakukan
secara cepat di lapangan tanpa menunggu hasil pemeriksaan fungsi atau bagian
lainnya; Tingkat koordinasi menjadi
lebih baik dan rentang kendali (span of
control) menjadi lebih mudah;
Tidak
membutuhkan biaya yang besar untuk mengimplementasikannya, hanya perlu
sinkronisasi dan harmonisasi anggaran pada setiap fungsi/bagian.