hubungannya kurang harmonis
dengan pemerintah (Soeharto), maka sebaiknya saya jangan ditempatkan jadi orang
nomor satu,” ungkapnya mengagetkan koleganya.
Ia
adalah KH. Abdul Malik Ahmad atau akrab disapa Buya Malik. Tokoh Ideologis
Muhammadiyah yang sempat heboh ketika menolak asas tunggal Pancasila periode
1980-an di tubuh organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan.
Bagi
Buya Malik, posisi tauhid tidak boleh bergeser setapal pun meski demi alasan
pragmatis. Iya, kata yang justru menjadi kunci ormas-ormas muslim saat ini agar
bisa “memuluskan” jalan dakwahnyaKisah ini bermula ketika Soeharto .
memaksakan
tiap ormas untuk menerima Asas Tunggal Pancasila lewat RUU Organisasi Kemasyarakatan.
Muhammadiyah pun terbelah.
Tak
mudah memang, sebab mesti melalui lobi panjang. Bahkan, Muhammadiyah sampai
menunda muktamar ke-41, yang mestinya diselenggarakan Februari 1984, dan
akhirnya baru dilaksanakan 7-11 Desember 1985.
Tanda-tanda
menerima asas tunggal Pancasila, secara terbuka, mulai tampak pada hari kedua
muktamar, tanggal 8 Desember.
Di
pendopo Mangkunegaran, Solo, Haji A.R. Fakhruddin, Ketua PP Muhammadiyah,
menyebutkan bahwa asas Pancasila itu diterima, “dengan ikhtiar”.
Dengan
ikhtiar, kata Fakhruddin, “Supaya yang dimaksudkan pemerintah itu berhasil,
tapi tidak melanggar agama. Kami, para pimpinan, tetap bertekad menegakkan
kalimah Allah di Indonesia ini.
Tidak
merusakkan peraturan-peraturan di Indonesia, tapi tidak menjual iman, tidak
menjual agama,” tandasnya.
Presiden
Soeharto akhirnya membuka muktamar ke-41 ini. Menyebut diri sebagai orang yang
pernah mengecap pendidikan Muhammadiyah, Soeharto kembali menegaskan bahwa :
Pancasila bukanlah tandingan agama.
Pancasila
bukan pengganti agama. Penegasan ini pernah diusulkan oleh PP Muhammadiyah,
supaya dicantumkan dalam batang tubuh UU Organisasi Kemasyarakatan itu.
Namun ternyata pandangan petinggi Muhammadiyyah dan lebih-lebih Soeharto, bertolak belakang dengan pemahaman Buya Malik.
Namun ternyata pandangan petinggi Muhammadiyyah dan lebih-lebih Soeharto, bertolak belakang dengan pemahaman Buya Malik.
Beliau
yang kala itu menjadi Wakil Ketua PP Muhammadiyah, mempersolakan posisi
Pancasila yang dijadikan lebih tinggi dari tauhid.
“Itu
yang saya tolak,” katanya. Maka itu konsekuensi menerima asas tunggal bagi Buya
Malik adalah kemusyrikan. Sebuah kata yang dapat menjerumuskan kepada
kekafiran.
Kalau
kita telaah, alasan Buya Malik memang sangat masuk akal. Logika sederhananya,
kalau Orde Baru mengatakan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi sebuah
ideologi, hal itu sama saja mengakui bahwa Pancasila lebih tinggi dari kitab
suci.
Dan
tokoh Orde Baru lebih tinggi daripada Nabi. Padahal, Rasululullah SAW diutus
untuk mengapus Syariat-syariat Nabi sebelumnya. Maka bagaimana mungkin Soeharto
menghapus Syariat Nabi Muhammad SAW. padahal dia sendiri bukan Nabi.
Asas
Tunggal sendiri, kata KH. Firdaus AN, adalah hasil bikinan tiga tokoh militer
yang diragukan komitmennya kepada agama. Mereka adalah Soeharto, Amir Machmud,
dan Soedomo.
Rupanya,
kekuatan tauhid Buya Malik memang bukan isapan jempol semata. Ketua Gerakan
Persaudaraan Muslim Indonesia, (alm) Ahmad Soemargono sempat memiliki
pengalaman tersendiri saat berguru kepada Buya Malik.
“Dari sekian guru yang paling berkesan itu adalah Buya Malik Ahmad. Kalau mendengarkan ceramahnya saya tersentuh,” ungkapnya saat diwawancara Republika.
“Dari sekian guru yang paling berkesan itu adalah Buya Malik Ahmad. Kalau mendengarkan ceramahnya saya tersentuh,” ungkapnya saat diwawancara Republika.
Gogon- sapaan akrab Ahmad Soemargono- juga terkesan dengan karya tafsir Buya Malik yang bernama Tafsir Sinar. Menurutnya, kajian-kajian yang terkandung dalam tulisan beliau memiliki nilai Tauhid yang mendalam.
Segala
ujian dan cobaan dalam menegakkan akidah menurut Buya Malik adalah keniscayaan
bagi orang beriman. Ini adalah konsekuensi logis tentanga arti menyuarakan
kebenaran dan menyingkirkan kebathilan. Dalam tulisannya yang berjudul
Orientalisme di tahun 1978, Buya menulis,
“Orang-orang
beriman dalam menegakkan aqidah dan ajaran Ilahi menuju keredhaan Allah ; selalu
mendapat rintangan, halangan dan kesulitan ; baik yang nyata maupun tersembunyi
; yang halus maupun yang kasar ; menghadapi rayuan atau tekanan/paksaan yang
datang dari orang-orang yang pandai membohong, menipu dan membingungkan ;
dengan menggunakan bermacam kekuatan, fasilitas dan mass media, yang berakibat
langsung ataupun tidak langsung terhadap ummat Islam; sehingga banyak di antara
ummat Islam yang terlalai, terlupa dan terpengaruh.
Akibatnya
kaum Muslimin tidak menyadari bahaya yang dilancarkan oleh orang-orang yang
tidak menyukai Islam ;
bahkan
sebagian kita merasakan seolah-olah faham dan sikap yang demikian sebagai
ajaran Islam yang murni.”
Kini
Buya sudah tiada,Ulama Kharismatik itu menyimpan torehan manis tentang arti
perjuangan menegakkan pemurnian tauhid kepada Allahuta’ala.
Dengan
menolak pencampuran ideologi Pancasila yang jelas-jelas bertentangan dengan Al
Qur’an dan Sunnah.Kapankah kembali muncul generasi Muhammadiyyah seperti Buya?
Allahua’lam. ===Wassalam==